Jumat, 17 Oktober 2014

Laporan Kajian Lapangan - Human Trafficking di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat


MAKALAH

Disusun sebagai Laporan Kajian Lapangan Kelompok mengenai Perdagangan Manusia (Human Trafficking) di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat

Mata Kuliah Sistem Pelayanan Sosial



Dosen Pengampu:
Drs. Ramli, M.Pd

Disusun oleh Kelompok 3 Kelas 2E:
1. Wildan Sani Nugroho (12.04.149)
2. Ahmad Ngainur Rofiq (12.04.246)
3. Ida Purwastuty (12.04.009)
4. Nella Kurnia Anggrahini (12.04.197)
5. Rahel Rima Eppang (12.04.102)



SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL
BANDUNG
2013

------------------------------------------------------------------

BAB I
PENDAHULUAN
1.1      Latar Belakang
Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia dengan latar belakang penduduk yang beragam serta memiliki permasalahan sosial yang beragam dan kompleks, tentu menarik untuk dijadikan fokus kajian oleh siapapun dan lembaga manapun. Kami pun demikian, kami memfokuskan kajian kami pada kasus perdagangan manusia/trafiking (human trafficking). Berdasarkan data dari salah satu lembaga pelayanan perempuan dan anak, yaitu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat, bahwa di setiap kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat terdapat kasus perdagangan manusia/trafiking dengan motif yang berbeda-beda. Mayoritas korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak. Mereka yang seharusnya mendapatkan perlindungan, justru dijadikan komoditas dagang dan diperlakukan tidak manusiawi. Mulai dari seorang bayi yang masih belum bisa melakukan apa-apa sampai dengan orang dewasa pun bisa menjadi korban trafiking. Niat baik mereka untuk membantu perekonomian keluarga dan meringankan beban keluarga disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Ditambah lagi dengan sifat konsumtif masyarakat yang terus meningkat dari waktu ke waktu, sehingga memudahkan oknum-oknum tersebut untuk membujuk mereka dengan mengiming-imingi pekerjaan berupah yang tinggi. Pemerintah telah berupaya maksimal untuk menangani permasalahan trafiking ini, mulai dari pembuatan kebijakan sampai dengan hal-hal yang sifatnya teknis telah dilakukan. Akan tetapi, upaya pemerintah saja tidaklah cukup untuk mengatasi dan mencegahnya, butuh partisipasi semua masyarakat, baik masyarakat di daerah dan dalam negeri maupun masyarakat luar negeri serta lembaga-lembaga terkait, termasuk kita sebagai mahasiswa. Partisipasi apapun sangatlah berguna untuk mencegah dan mengatasi permasalahan trafiking ini.
Makalah ini diharapkan bisa menjadi alat bagi semua pihak untuk lebih memahami tentang perdagangan manusia/trafiking, lembaga pelayanan terkait, dan cara mencegah serta mengatasi permasalahan tersebut.

1.2      Rumusan Masalah
Berikut adalah beberapa rumusan masalah atau lebih tepatnya hal-hal yang dibahas di dalam makalah ini yang berkaitan dengan kajian lapangan yang telah kami laksanakan, diantaranya:
1.       Definisi perdagangan manusia/trafiking (human trafficking), bagaimana bentuk-bentuk trafiking, siapa saja pelakunya, dan apa saja faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya trafiking.
2.       Lembaga yang fokus pelayanannya pada kasus trafiking serta kekerasan pada perempuan dan anak, yaitu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat.
3.       Mekanisme pelayanan di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat.
4.       Penanganan kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat.

1.3      Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:
1.       Sebagai laporan terkait kajian lapangan yang telah kami laksanakan tentang pelayanan sosial di lembaga pelayanan.
2.       Memberikan informasi dan pemahaman kepada pembaca tentang perdagangan manusia/trafiking (human trafficking) secara lebih rinci berdasarkan fakta yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.
3.       Memberikan informasi dan pemahaman kepada pembaca tentang mekanisme dan penanganan kasus perdagangan manusia/trafiking di lembaga pelayanan khususnya di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

--------------------------------------------------------------------------------------

BAB II
PEMBAHASAN
2. 1   KAJIAN TEORI
A. DEFINISI PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING)
Istilah “Perdagangan Manusia” disebut juga “Trafiking” atau “Human Trafficking” diambil dari bahasa Inggris. “Trafficking” dalam bahasa Inggris berarti perpindahan atau migrasi, sehingga secara bahasa, human trafficking dapat diartikan sebagai perpindahan atau migrasi manusia. Namun, pengertian human trafficking dalam konteks perdagangan manusia yang kami bahas di dalam makalah ini, tidak hanya sekadar perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lain. Akan tetapi, seseorang atau sekelompok orang yang berpindah atau bermigrasi tersebut adalah korban, dimana korban dibawa ke luar dari kampung halamannya yang aman ke tempat berbahaya dan dikerjapaksakan serta dieksploitasi.
Di masa lalu, human trafficking (perdagangan manusia) hanya dipandang sebagai pemindahan perempuan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. Sejumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan manusia pun hanya memfokuskan pada aspek ini.
Seiring bergulirnya waktu dan bertambah kompleksnya permasalahan tersebut, maka human trafficking (perdagangan manusia) didefinisikan sebagai perpindahan manusia (khususnya perempuan dan anak), dengan atau tanpa persetujuan orang yang bersangkutan, di dalam suatu negara atau ke luar negeri, untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan perbudakan yang berkedok pernikahan (servile marriage), sehingga memperluas definisi itu untuk mencakup lebih banyak isu dan jenis kekerasan.
Perluasan terhadap definisi perdagangan manusia, mempunyai arti bahwa kini lebih banyak bentuk eksploitasi yang dialami oleh perempuan dan anak yang digolongkan sebagai trafiking daripada sebelumnya. Dengan menyoroti perubahan-perubahan konseptual ini, kita akan mempunyai pengertian yang lebih baik tentang bagaimana hal ini mempengaruhi pemahaman kita tentang perdagangan manusia di Indonesia khususnya.
Kerangka konseptual baru untuk perdagangan manusia ini melambangkan pergeseran dalam beberapa situasi seperti yang diuraikan di bawah ini. Poin-poin berikut ini didasari oleh pendapat Wijers dan Lap-Chew (pakar perdagangan internasional) berkaitan dengan pergeseran kerangka definisi mengenai perdagangan manusia, diantaranya:
a.     Dari Perekrutan menjadi ‘Eksploitasi’
Kerangka tersebut berkembang dari mengkonseptualisasi perdagangan sebagai sekadar perekrutan menjadi juga mencakup kondisi eksploitatif yang dihadapi seseorang sebagai akibat perekrutannya.
b.     Dari Pemaksaan menjadi ‘Dengan atau Tanpa Persetujuan’
Kerangka tersebut juga berubah dari mensyaratkan bahwa perdagangan harus melibatkan unsur penipuan, kekerasan atau pemaksaan, menjadi pengakuan bahwa seorang perempuan dapat menjadi korban perdagangan bahkan jika ia menyetujui perekrutan dan pengiriman dirinya ke tempat lain.
c.   Dari Prostitusi menjadi ‘Perburuhan yang Informal dan Tidak Diatur oleh Hukum’
Pada tahun 1994, PBB mengesahkan suatu resolusi mengenai “Perdagangan Perempuan dan Anak Perempuan” yang memperluas definisi perdagangan sehingga memasukkan eksploitasi yang tidak hanya untuk tujuan prostitusi saja tetapi juga untuk semua jenis kerja paksa. Resolusi ini juga mengakui bahwa perempuan sering kali secara sadar mengizinkan dirinya dikirim ke luar negeri atau ke daerah lain, secara sah atau tidak sah, namun mereka tidak mengetahui eksploitasi yang sudah menunggu mereka. Resolusi ini menyatakan bahwa perdagangan didefinisikan sebagai “tujuan akhir dari memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi yang menekan dan eksploitatif dari segi ekonomi ataupun seksual”. Meski perdagangan untuk tujuan eksploitasi seksual memang hanya dikenal di Indonesia, diduga jumlah perempuan yang diperdagangkan untuk bentuk-bentuk perburuhan lain jauh lebih banyak. Dari hampir setengah juta warga Indonesia yang bermigrasi secara resmi untuk bekerja setiap tahunnya, 70% adalah perempuan; dan masih banyak lagi yang ditengarai bermigrasi melalui jalur-jalur tak resmi. Sebagian besar perempuan bermigrasi untuk bekerja sebagai pramuwisma; sebagian lainnya untuk bekerja di rumah makan, pabrik atau perkebunan. Dari hasil penelitian, juga data dari LSM tentang buruh migran, kami menemukan bahwa banyak di antara perempuan ini yang menemukan diri mereka sendiri di dalam kondisi eksploitatif, penjeratan utang (debt bondage), penyitaan identitas, dan pembatasan gerak, yang merupakan unsur-unsur perdagangan.
d. Dari Kekerasan terhadap Perempuan menjadi ‘Pelanggaran Hak Asasi Manusia’
Perubahan dalam kerangka konseptual menunjukkan pergeseran dari memandang perdagangan sebagai suatu isu yang sering dianggap sebagai isu domestik dan berada di luar yuridiksi negara, menjadi dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang mendasar dan karena itu merupakan persoalan yang menjadi tanggung jawab negara. Perspektif hak perempuan sebagai hak asasi manusia yang terus berkembang ini terlihat jelas dalam Konferensi Dunia PBB mengenai Hak Asasi Manusia pada tahun 1993 dan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
e.      Dari Perdagangan Perempuan menjadi ‘Migrasi Ilegal’
Pergeseran paradigma ini terutama menunjukkan perubahan dalam persepsi negara-negara penerima terhadap perdagangan perempuan sebagai suatu isu migrasi ilegal dan penyelundupan manusia. Perubahan ini mempunyai konsekuensi yang negatif. Dengan memusatkan perhatian hanya kepada status migrasi saja, kerangka yang berubah ini mengabaikan sebagian aspek penting dalam perdagangan perempuan.
Pertama, ada banyak kasus perdagangan di mana perempuan masuk ke negara tujuan secara sah. Persepsi ini juga tidak memperhitungkan kemungkinan perdagangan domestik. Kedua, dan mungkin yang paling penting, kerangka ini menjauhkan perhatian dari korban. Tindak kejahatan tersebut menjadi salah satu dari migrasi ilegal di mana korban adalah pelaku dan negara menjadi korban. Seperti halnya di banyak negara, batas antara migrasi dan perdagangan mudah berubah, dan perempuan kerap berpindah dari situasi migrasi sukarela untuk pekerjaan yang sah ke kondisi eksploitatif. Mereka yang terlibat dalam perekrutan dan pengiriman para perempuan itu, mungkin tidak terlibat dalam tahap akhir eksploitasi. Menurut beberapa laporan, orang yang direkrut mungkin akan diserahkan kepada perekrut di negara lain yang kemudian dengan sewenang-wenang menyalurkan sebagian dari mereka ke rumah bordil dan sebagian lagi ke pekerjaan yang telah dijanjikan sebelumnya oleh perekrut pertama.

Secara sederhana, trafiking adalah sebuah bentuk perbudakan modern dan segala transaksi jual beli terhadap manusia.
Definisi lain dan yang paling banyak diterima di seluruh dunia adalah definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyatakan bahwa human trafficking (perdagangan manusia) adalah: "Perekrutan, pengangkutan, pengiriman, penampungan atau penerimaan orang ini, dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau jenis paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau tunjangan untuk mencapai kesepakatan seseorang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.” (2000, Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafiking Orang, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Transnasional)
Salah satu masalah dalam mendefinisikan trafiking adalah bahwa terdapat banyak situasi dimana orang disiksa tetapi, situasi ini tidak langsung diartikan bahwa mereka adalah korban trafiking. Sebagai contoh, seorang perempuan yang memilih untuk menjadi pekerja seks komersial karena ia butuh uang, tentu tidak sama dengan seseorang yang ditipu dan ditarik ke dalam prostitusi dan dipaksa untuk terus melakukannya meskipun ia tidak mau.
Untuk membantu mengenali kasus trafiking, ACILS (American Center for International Labor Solidarity) dan ICMC (International Catholic Migration Commission) telah mengembangkan dan menguraikan definisi PBB mengenai trafiking. Agar suatu kasus dapat dikatakan trafiking, kasus tersebut harus meliputi 3 elemen pokok, yaitu:
1.       PROSES seseorang dipindahkan, berupa perekrutan, pengangkutan, pengiriman, penampungan, dan penerimaan.
2.       CARA seseorang dijebak, bisa berupa ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, kecurangan, ataupun penyalahgunaan kekuasaan.
3.       TUJUAN atau niatan perpindahan, bisa untuk prostitusi, kekerasan/eksploitasi seksual, kerja paksa dengan upah yang tidak layak, perbudakan/praktik-praktik lain yang serupa dengan perbudakan, penyalahgunaan alat-alat reproduksi, pengantin pesanan, penjualan obat-obatan terlarang, ataupun pengambilan organ tubuh.

Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 tahun 2012, menyatakan bahwa korban trafficking adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi dan/atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. Dengan kriteria sebagai berikut:
a.       mengalami tindak kekerasan;
b.       mengalami eksploitasi seksual;
c.       mengalami penelantaran;
d.       mengalami pengusiran (deportasi); dan
e.       ketidakmampuan menyesuaikan diri di tempat kerja baru (negara tempat bekerja) sehingga mengakibatkan fungsi sosialnya terganggu.

B.     KOMPONEN DALAM DEFINISI PBB
Berdasarkan definisi yang dikeluarkan oleh PBB, setidaknya ada beberapa komponen proses di dalamnya yang dapat memunculkan dan menghasilkan kasus trafiking, diantaranya:
·  Perekrutan : Kebanyakan kasus trafiking melibatkan perekrutan pekerjaan. Beberapa perekrut bekerja untuk agen perekrut sementara yang lainnya bekerja sendiri. Mereka mengurus dan memfasilitasi perjalanan ke kota lain di Indonesia atau ke luar negeri. Beberapa adalah perekrut resmi dan barangkali tidak tahu bahwa orang yang mereka tempatkan akan menjadi korban trafiking. Namun, perekrut lainnya secara sadar menipu korban mengenai jenis dan kondisi kerja.
·     Pengangkutan di dalam dan melintasi perbatasan : Agar dapat dikatakan trafiking, beberapa bentuk perpindahan fisik, migrasi atau pengangkutan mesti terjadi. Perpindahan dapat terjadi antar negara atau di dalam satu negara namun apapun situasinya korban dipindahkan ke tempat yang asing, jauh dari rumah dan perlindungan keluarga atau kerabat dan/atau di bawah kendali pelaku trafiking.
·   Dipindahkan dengan cara legal atau illegal : Trafiking dapat terjadi baik saat seseorang dipindahkan secara legal atau ilegal. Trafiking dapat terjadi pada buruh migran dengan visa legal, yang masuk ke suatu negara dengan legal, tapi ditipu dan kondisi kerjanya tidak sesuai.
·      Pembelian, penjualan, pengiriman, penerimaan atau penampungan seseorang : Pelaku trafiking menggunakan satu atau lebih dari tindakan ini ketika mereka memindahkan korban dari tempat asal ke tempat tujuan. Proses ini menunjukkan bahwa banyak orang yang terlibat dalam proses trafiking terhadap seorang korban – sebagai contoh: seorang perekrut bisa menjual korban, ada perantara yang mengirimkan korban, orang lain sepakat menampung korban di lokasi transit, sementara orang lain telah membeli korban untuk dijadikan pembantu atau pelacur.
·     Penipuan : Orang-orang yang diperdagangkan seringkali diberi iming-iming tawaran pendidikan, pernikahan atau pekerjaan bergaji besar. Yang terjadi justru sebaliknya, mereka dijerumuskan ke dalam kerja paksa, prostitusi, atau dalam pernikahan yang disalahgunakan. Sebagai contoh, seorang perempuan tetap dianggap korban trafiking bahkan ketika ia tahu akan bekerja dalam industri seks, tapi tidak tahu bahwa ia akan kehilangan kebebasan atau pendapatan. Dalam banyak kasus orang-orang yang diperdagangkan ditipu mengenai kondisi yang harus mereka jalani dan/atau tentang kondisi kerja.
·         Paksaan, termasuk ancaman kekerasan atau penyalahgunaan wewenang : Beberapa pelaku trafiking menggunakan kekuatan untuk menculik korban dan yang lainnya menggunakan kekerasan atau pemerasan untuk mengendalikan mereka. Karena orang-orang yang diperdagangkan menjadi tergantung masalah sandang, pangan dan papan, mereka dipaksa untuk menyerahkan diri pada tuntutan penculik mereka. Pelaku trafiking dapat membatasi kebebasan korban atau hanya memperbolehkan mereka keluar dengan pengawal. Paksaan juga bisa bersifat psikologis. Penyalahgunaan wewenang seringkali berarti seseorang yang memiliki wewenang atas orang lain (seperti kerabat atau majikan) merampas hak asasi mereka.
·    Jeratan Hutang : Banyak orang-orang yang direkrut/ditarik akan terperangkap dalam jeratan hutang. Begitu tiba di tempat tujuan mereka dipaksa bekerja atau melunasi hutang yang dilambungkan akibat penempatan kerja, tempat tinggal, biaya perjalanan, biaya kesehatan dan makanan. Pelaku trafiking memiliki kendali penuh atas perpindahan dan pemasukan korban mereka, karena korban seringkali dikurung dan paspor/izin mereka ditahan.
·      Perbudakan (rumah tangga, seksual, atau alat reproduksi), dalam kerja paksa atau dalam kondisi mirip perbudakan : Banyak perempuan dan anak-anak ditarik ke dalam situasi yang berdasarkan definisi hukum tidak termasuk kerja paksa atau perbudakan. Dalam beberapa kasus mereka ditarik ke dalam perkawinan paksa atau budak seks tanpa nafkah. Perempuan lainnya dikurung sebagai pembantu rumah tangga atau ditawan untuk pelayanan seksual atau alat reproduksi.

Elemen inti dari trafiking adalah kondisi yang eksploitatif dan semena-mena di mana korban diangkut dan dipindahkan ke tempat asing. Kerja paksa, penghambaan dan perbudakan adalah kejahatan yang dilarang oleh hukum internasional sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Orang-orang ditarik ke dalam banyak situasi, seperti pekerjaan rumah tangga, pekerjaan kasar atau di pabrik. dalam sektor formal maupun informal, ke dalam perkawinan atau hubungan lainnya. Kondisi/hubungan yang disertai paksaan dan penipuan dalam situasi di atas juga disebut “trafiking”.
Trafiking tidak hanya merampas hak asasi tetapi juga, membuat mereka rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma dan bahkan kematian. Pelaku trafiking menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan untuk menjerumuskan korban ke dalam pekerjaan mirip perbudakan atau ke dalam prostitusi. Korban menghadapi penyiksaan, kekejaman, kerja paksa, pemerasan dan eksploitasi. Banyak yang hanya menerima sedikit gaji atau tidak sama sekali sebagai bayaran pekerjaan mereka dan dipaksa terus bekerja untuk jam kerja yang berlebihan bahkan seringkali tanpa istirahat.

C.      BENTUK-BENTUK PERDAGANGAN MANUSIA (TRAFIKING) DI INDONESIA
Terdapat banyak sekali tindakan kekerasan, pemaksaan, penipuan, dan eksploitasi yang dialami oleh manusia, terutama di Indonesia dan lebih khususnya adalah di Jawa Barat. Perburuhan yang eksploitatif, perburuhan anak, perbudakan berlatar belakang pernikahan, kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi seksual, serta masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan dan eksploitatif lainnya merupakan bentuk-bentuk perdagangan manusia yang banyak terjadi di masyarakat. Tetapi, kami hanya mengambil bentuk-bentuk perdagangan manusia yang paling sering terjadi di Indonesia. Berikut adalah bentuk-bentuk perdagangan manusia tersebut, diantaranya:
1.       Buruh Migran
2.       Pembantu Rumah Tangga
3.       Pekerja Seks Komersial
4.       Perbudakan Berkedok Pernikahan dalam Bentuk Pengantin Pesanan
5.       Pekerja Anak
Rangkuman singkat di bawah ini menjelaskan bentuk-bentuk perdagangan manusia di atas, metode perekrutan dan manifestasi eksploitasinya. Berikut adalah penjelasannya:
1.      Buruh Migran
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak orang, termasuk anak di bawah umur, bermigrasi tanpa sepengetahuan Departemen Tenaga Kerja, melalui jalur yang informal atau melanggar hukum, sehingga meningkatkan jumlah buruh migran perempuan dan anak secara signifikan. Perempuan dan anak cenderung bermigrasi untuk bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan berikut ini:
o   Pembantu Rumah Tangga
o   Pelayan Restoran
o   Buruh Pabrik dan Perkebunan
o   Industri Hiburan / Pekerja Seks
Buruh migran dieksploitasi sepanjang proses migrasi, mulai dari perekrutan hingga proses prakeberangkatan, selama bekerja, dan setelah kembali. Untuk mempercepat proses dan mengubah informasi penting terutama usia anak, dokumen buruh sering kali dipalsukan bahkan ketika mereka bermigrasi melalui broker yang terdaftar secara sah. Hal ini membuat para migran menghadapi risiko dikenai tuduhan berbagai pelanggaran imigrasi di negara tujuan. Para migran juga berutang dalam jumlah besar kepada agen, yang biasanya berasal dari pungutan ilegal dan beban bunga yang tinggi. Gaji mereka dipotong untuk melunasi utang-utang ini, dan dalam kasus-kasus ekstrem, buruh menemukan dirinya terjebak dalam penjeratan utang, suatu situasi dimana dirinya tidak akan pernah dapat melarikan diri.
Kondisi kerja sering kali melanggar undang-undang/peraturan perburuhan setempat, di mana para buruh migran mempunyai jam kerja yang panjang, tidak diberikan cuti, dan diberi tempat tinggal dan makan dalam kondisi yang bersanitasi buruk. Buruh yang mungkin ingin pulang kampung, baik untuk alasan pribadi, karena kondisi kerjanya, atau karena takut mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, biasanya akan dipaksa untuk terus bekerja guna memberikan ganti kepada agen bagi biaya perekrutan dan transportasinya. Bukan suatu hal yang aneh bagi majikan atau agen untuk menahan paspor dan dokumen-dokumen lain untuk memastikan bahwa buruh tidak akan mencoba melarikan diri.
Banyak dari bentuk-bentuk eksploitasi ini mengakibatkan buruh migran yang direkrut atas kemauannya sendiri menjadi korban perdagangan. Namun, banyak dari praktik-praktik ini yang sudah begitu lazim di Indonesia sehingga, tidak lagi dianggap sebagai eksploitatif, apalagi sebagai perdagangan yang melanggar hukum. Dengan tidak mengakui bentuk-bentuk perdagangan ini, pemerintah membiarkan eksploitasi buruh migran perempuan dan anak Indonesia terus berlanjut. Perekrutan gadis di bawah umur tak terhindarkan di negara dengan jumlah pengangguran dan semipengangguran yang luar biasa besar ini.
2.      Pembantu Rumah Tangga
Permintaan terbesar bagi buruh migran perempuan Indonesia adalah untuk menjadi pembantu rumah tangga yang tidak memerlukan banyak keterampilan. Pembantu rumah tangga kerap menghadapi bahaya besar karena sifat pekerjaan mereka yang bertempat di rumah pribadi dan tertutup dari sorotan masyarakat umum atau akses untuk memperoleh bantuan. Sering terdengar laporan mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikan. Ruang gerak pembantu biasanya dibatasi. Mereka dibatasi dalam hal ke mana mereka dapat pergi, dan biasanya dikurung di rumah ketika majikan mereka sedang pergi.
Pembantu rumah tangga di dalam negeri juga dapat mengalami kekerasan serupa, antara lain penyekapan ilegal, penjeratan utang dan gaji tidak dibayar, yang membuat perekrutan mereka untuk bekerja dalam kondisi yang begitu eksploitatif menjadi kasus perdagangan. Selain itu, beberapa studi melaporkan bahwa lebih dari 25% pembantu rumah tangga di Indonesia berusia di bawah 15 tahun (usia kerja minimum di Indonesia menurut hukum), sementara sejumlah studi lain menyatakan bahwa jumlah pembantu rumah tangga di bawah umur lebih dari 50%. Dalam kasus-kasus semacam itu, melanggar konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak, yang mencakup hak untuk memperoleh pendidikan (Pasal 28), hak untuk beristirahat dan menikmati hiburan (Pasal 31), dan hak untuk memperoleh perlindungan dari eksploitasi ekonomi, khususnya jika pekerjaan yang dilakukan mengganggu pendidikan atau perkembangan anak bersangkutan (Pasal 32) dan karena itu merupakan pekerjaan yang eksploitatif. Sehingga perekrutan dan pengiriman anak untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga penuh waktu yang tinggal di rumah majikan sama dengan perdagangan manusia.
3.      Pekerja Seks Komersial
Perekrutan untuk industri seks internasional tampaknya serupa dengan perekrutan untuk jenis-jenis buruh migran lainnya, dan bahkan sering kali berkedok perekrutan untuk dijadikan buruh migran. Bukti anekdotal (bukti yang berasal dari pengalaman pribadi atau observasi), juga studi mengenai buruh migran, menunjukkan bahwa banyak perempuan yang semula direkrut untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pegawai restoran atau untuk pekerjaan dalam sektor hiburan lain kemudian dipaksa untuk bekerja dalam industri seks komersial. Banyak dari perempuan-perempuan ini yang telah menyerahkan sejumlah uang kepada perekrut untuk mencarikan mereka pekerjaan di luar negeri, dan tidak menyadari sifat sebenarnya dari pekerjaan sampai mereka tiba di negara tujuan. Pelaku perdagangan memalsukan dokumen mereka, sehingga mereka tidak berani mengadu kepada pihak yang berwenang karena takut akan ditahan atau dideportasi. Mereka kerap menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan agar para perempuan dan gadis tidak berani melarikan diri. Korban juga dapat disekap secara paksa dan dijaga ketat, serta dibebani dengan utang yang sebenarnya tidak ada atau yang jumlahnya lebih besar dari sebenarnya, sehingga penghasilan mereka dari jasa yang diberikan secara terpaksa pun ditahan.
Sebuah manifestasi perdagangan yang belakangan ini muncul adalah perekrutan perempuan muda dari Bali dan Jawa untuk misi kebudayaan atau tari ke Jepang. Para penari diberitahu bahwa mereka akan membawakan tarian tradisional di sejumlah pusat hiburan di Jepang. Setibanya di sana, mereka dipekerjakan di karaoke dan klub yang menyajikan tarian telanjang. Mula-mula mungkin mereka akan bekerja sebagai pelayan atau teman minum bagi tamu namun pada akhirnya mereka akan disuruh memberikan layanan seks kepada tamu.
Di beberapa kabupaten di Indonesia, terutama di Jawa, berlaku subbudaya di mana keluarga yang mempunyai anak perempuan di bawah umur mengatur agar anak mereka dapat menetap di kota untuk memasuki industri seks agar ia memperoleh penghasilan lebih besar dari yang mungkin dapat ia raih. Ini sudah jelas merupakan kasus perdagangan. Sementara di daerah lain, seperti Sulawesi Utara, sejumlah perempuan dan gadis muda secara sadar menandatangani kontrak untuk bekerja sebagai penari, penari telanjang atau bahkan pekerja seks, namun mereka ditipu mengenai kondisi kerja yang harus mereka hadapi, dibebani oleh utang yang sebenarnya tidak ada atau jumlahnya lebih besar dari yang sebenarnya, disekap secara paksa, atau tidak boleh menolak bekerja, sehingga nasib mereka berujung dalam kondisi eksploitatif yang merupakan perdagangan. Juga ada konsistensi yang cukup tinggi dari sejumlah laporan yang menyatakan bahwa 30% pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun. Anak umur di bawah 18 tahun yang direkrut dan dikirim ke dalam industri seks merupakan korban perdagangan, sehingga isu tentang persetujuan atau menjadi pekerja seks secara sukarela menjadi tidak relevan.
4.      Pengantin Pesanan
Pernikahan paksa memiliki sejarah panjang di banyak daerah di Indonesia. Ada banyak subbudaya Indonesia di mana pernikahan biasanya diatur oleh orang tua tanpa banyak pertimbangan terhadap pilihan anak mereka. Meski kini pelaksanaan praktik ini tidak sesering dahulu, praktik ini masih tetap hidup dan melanggar hak seseorang untuk menikah dengan bebas dan atas persetujuan penuh dari dirinya sendiri (Pasal 16, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Pengantin pesanan merupakan manifestasi modern dari perjodohan dan dapat menjadi kasus perdagangan ketika seorang gadis menikah atas tekanan keluarganya (khususnya bila ia berumur di bawah 18 tahun), dan berakhir dalam kondisi perbudakan atau eksploitatif.
Fenomena pengantin pesanan di Indonesia tampaknya terutama terjadi dalam masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa di Provinsi Kalimantan Barat (meski dari Jawa Timur diberitakan telah terjadi beberapa kasus serupa), dengan para calon suami berasal dari Taiwan. Meski sebagian perempuan muda yang diperistri melalui proses ini mempunyai pernikahan yang bahagia, ada sejumlah perempuan lain melaporkan bahwa mereka bekerja seperti budak di rumah suami dan orang tua suaminya, dengan jam kerja yang panjang dan tanpa gaji dan mereka tidak diperlakukan sebagai salah satu anggota keluarga. Dalam beberapa contoh yang lebih mengenaskan, para perempuan tersebut benar-benar dipaksa oleh suami mereka untuk memasuki industri seks atau langsung dijual ke sebuah rumah bordil. Kendati tidak semua kasus pengantin pesanan berakhir menyedihkan atau melibatkan perdagangan, banyak kasus melibatkan perempuan di bawah umur, dan pemalsuan dokumen. Kebanyakan pernikahan difasilitasi oleh calo setempat dari Singkawang, Kalimantan Barat, dengan upacara pernikahan dilakukan di Indonesia. Dalam beberapa kasus, setibanya di Taiwan, kewarganegaraan pengantin langsung diubah yang terkadang tanpa sepengetahuannya sehingga jika ia ingin kembali ke Indonesia karena terlibat dalam kesulitan di sana, ia akan dihadang cukup banyak kesulitan.
5.      Bentuk-bentuk Lain Perburuhan Anak
Ada beberapa bentuk perburuhan anak di Indonesia yang dapat digolongkan sebagai tindak perdagangan. Yang amat menonjol adalah kasus-kasus mengenai anak lelaki yang bekerja di jermal di lepas pantai Sumatra Utara. Sejumlah anak laki-laki yang masih belia direkrut dari desa dengan janji akan mendapat gaji besar jika bersedia dikontrak untuk bekerja selama tiga bulan di jermal. Namun mereka tidak diberi penjelasan mengenai kondisi kerja, dan mereka harus hidup di tempat yang jorok, serta mengalami kekerasan fisik dan seksual dari orang dewasa yang ada di jermal itu dan jam kerja yang panjang. Mereka tidak pergi bersekolah dan tidak dapat meninggalkan jermal setelah sampai di situ. Pihak LSM juga melaporkan sejumlah kasus anak yang diperdagangkan untuk dipekerjakan secara paksa sebagai pengemis atau untuk menjual narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba). Bentuk-bentuk lain perburuhan anak, seperti untuk dijadikan pembantu rumah tangga dan untuk tujuan eksploitasi seks komersial akan dibahas di bagian lain, namun dipandang perlu untuk disampaikan di sini sebagai bentuk perburuhan anak yang sama relevan dan buruknya untuk digolongkan ke dalam paradigma perdagangan.
6.      Penjualan Bayi
Keberadaan tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negri, seperti TKI yang ditipu dengan perkawinan palsu lalu dipaksa untuk menyerahkan anaknya atau diadopsi secara ilegal, ataupun pada akhirnya bayi tersebut dijual di pasar gelap.
7.      Perdagangan organ tubuh manusia
Demi mendapatkan uang dan dapat menafkahi keluarganya, terkadang manusia dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat diterima. Salah satunya adalah penjualan organ tubuh manusia, salah satunya adalah penjualan ginjal yang ilegal. Demi mendapatkan uang yang banyak dalam waktu yang cepat maka mereka rela menjual sebagian tubuhnya asalkan dapat bertahan hidup. Selain itu bagian tubuh manusia lainnya juga diperjualbelikan, biasanya manusia yang telah meninggal, ataupun manusia yang berada di dalam perbudakan yang tidak dapat menolak ataupun membela diri.

D.     PELAKU PERDAGANGAN MANUSIA (TRAFIKING)
Di bawah ini adalah uraian singkat berbagai kategori oknum dan organisasi yang terlibat dalam perdagangan perempuan dan anak di Indonesia.
1.      Agen Perekrut Tenaga Kerja
Agen perekrut tenaga kerja atau perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) membayar agen/calo (perseorangan) untuk mencari buruh di desa-desa, mengelola penampungan, memperoleh identifikasi dan dokumen perjalanan, memberikan pelatihan dan pemeriksaan medis serta menempatkan buruh dalam pekerjaannya di negara tujuan. Baik PJTKI yang terdaftar maupun tidak terdaftar melakukan praktik yang ilegal dan eksploitatif, seperti memfasilitasi pemalsuan paspor dan KTP serta secara ilegal menyekap buruh di penampungan. Mereka menjadi pelaku perdagangan ketika mereka memaksa seorang perempuan untuk terus bekerja bahkan ketika ia hendak pulang ke tempat asalnya, ketika mereka menempatkan seorang buruh dalam pekerjaan yang berbeda dari yang sudah dijanjikan sebelumnya dan ketika mereka mengirim seorang perempuan, dengan atau tanpa sepengetahuan mereka, untuk secara paksa bekerja dalam industri seks.
2.      Agen
Agen/calo mungkin saja adalah orang asing yang datang ke suatu desa, atau tetangga, teman, atau bahkan kepala desa. Agen dapat bekerja secara bersamaan untuk PJTKI yang terdaftar dan tidak terdaftar, memperoleh bayaran untuk setiap buruh yang direkrutnya. Mereka sering terlibat dalam praktik ilegal seperti pemalsuan dokumen. Seorang agen mungkin dengan sadar terlibat dalam perdagangan perempuan ketika ia membohongi orang yang direkrutnya mengenai kebenaran dari pekerjaan yang akan dilakukan atau gaji yang akan diterimanya. Sebagian agen secara sadar merekrut perempuan untuk industri seks. Di sisi lain, banyak yang mungkin membantu perdagangan perempuan untuk industri seks tanpa menyadarinya. Agen mungkin tidak mengetahui yang sebenarnya dari suatu pekerjaan ketika mereka melakukan perekrutan untuk pekerjaan itu.
3.      Pemerintah
Pejabat pemerintah juga memainkan peranan dalam eksploitasi dan perdagangan migran. Keterlibatan mereka antara lain adalah memalsukan dokumen, mengabaikan pelanggaran dalam perekrutan dan ketenagakerjaan, atau memfasilitasi penyeberangan perbatasan secara ilegal. Mereka mungkin menyadari atau tidak menyadari bahwa perempuan yang perekrutan dan pengirimannya mereka fasilitasi adalah korban perdagangan.
4.      Majikan
Majikan, apakah mereka terlibat atau tidak dalam perekrutan, terlibat dalam perdagangan jika mereka memaksa buruh yang direkrut untuk bekerja dalam kondisi eksploitatif. Seorang majikan terlibat dalam perdagangan jika ia tidak membayarkan gaji, secara ilegal menyekap buruh di tempat kerja, melakukan kekerasan seksual dan fisik terhadap buruh, memaksa buruh untuk terus bekerja di luar keinginan mereka, atau menahan mereka dalam penjeratan utang.
5.      Pemilik dan Pengelola Rumah Bordil
Sama dengan majikan di atas, pemilik dan pengelola rumah bordil terlibat dalam perdagangan bila mereka memaksa seorang perempuan untuk bekerja di luar kemauannya, menahannya dalam penjeratan utang, menyekapnya secara ilegal, membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan anak di bawah 18 tahun.
6.      Calo Pernikahan
Seorang calo pernikahan yang terlibat dalam sistem pengantin pesanan terlibat dalam perdagangan ketika ia mengatur pernikahan yang mengakibatkan pihak istri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif. Calo pernikahan mungkin menyadari atau tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.
7.      Orang Tua dan Sanak Saudara
Orang tua dan sanak saudara lain menjadi pelaku perdagangan ketika mereka secara sadar menjual anak atau saudara mereka kepada seorang majikan apakah ke dalam industri seks atau sektor lain. Orang tua juga memperdagangkan anak mereka ketika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima anak mereka di masa depan, atau menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utang yang telah mereka buat, sehingga memaksa anak mereka masuk ke dalam penjeratan utang.
8.      Suami
Suami yang menikahi dan kemudian mengirim istrinya ke sebuah tempat baru dengan tujuan untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi, terlibat dalam perdagangan. 

E. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERDAGANGAN MANUSIA (TRAFIKING)
Faktor penyebab atau pendorong terjadinya praktik perdagangan manusia sangatlah beragam, mulai dari hal-hal yang bisa dikatakan sepele sampai kepada hal-hal yang kompleks. Berikut adalah beberapa faktor penyebab terjadinya perdagangan manusia (trafiking), diantaranya:
a.      Kurangnya Kesadaran Masyarakat Terhadap Bahaya Trafiking
Kesadaran ini tidak hanya didapatkan dari mereka yang telah menjadi korban perdagangan manusia, kesadaran mengenai trafiking seharusnya juga didapatkan dari mereka yang menjalankan atau terlibat langsung dalam kegiatan perdagangan manusia. Kurangnya perhatian mengenai trafiking dapat disebabkan karena kurangnya kewaspadaan dan kurangnya informasi. Selain itu, pengetahuan yang terbatas mengenai motif-motif dari perdagangan manusia juga menjadi salah satu penyebab kurangnya perhatian mengenai trafiking.
b.      Faktor Ekonomi dan Kemiskinan
Permasalahan ini sering sekali menjadi pemicu utama terjadinya kasus perdagangan manusia. Tanggung jawab yang besar untuk menopang hidup keluarga, keperluan yang tidak sedikit sehingga membutuhkan uang yang tidak sedikit pula, terlilit hutang yang sangat besar, dan motif-motif lainnya yang dapat memicu terjadinya tindakan perdagangan manusia. Tidak hanya itu, hasrat ingin cepat kaya juga mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tersebut.
c.       Kebudayaan Masyarakat Setempat
Memang tidak secara gamblang terlihat bukti mengenai tindakan perdagangan manusia. Namun pada kebudayaan masyarakat tertentu, terdapat suatu kebiasaan yang menjurus pada tindakan perdagangan manusia. Sebagai contoh, dalam hierarki kehidupan pada hampir semua kebudayaan, memang sudah kodrat perempuan untuk tidak mengejar karir. Mereka “ditakdirkan” untuk mengurus rumah tangga, mengurus anak, serta bersolek. Kalau memang diperlukan perempuan bertugas untuk mencari nafkah tambahan bagi keluarganya. Sedangkan laki-laki dalam hierarki kehidupan pada mayoritas kebudayaan, berfungsi sebagai pencari nafkah, dan juga pemimpin setidaknya bagi keluarganya sendiri. Namun, pada kenyataannya, tidak semua keluarga tercukupi kebutuhannya hanya dari pendapatan utama, yaitu pendapatan laki-laki. Tidak semua dapat sejahtera hanya dengan satu sumber penghasilan. Biasanya, hal inilah yang mendorong kaum perempuan untuk tetap melangsungkan kehidupan keluarga mereka sehingga mereka melakukan migrasi dengan menjadi tenaga kerja.
d.      Peran Anak dalam Keluarga
Seorang anak mempunyai peran dalam sebuah keluarga. Kepatuhan terhadap orangtua, rasa tanggung jawab terhadap masa depan orangtua mereka, atau situasi ekonomi keluarga yang jauh dari cukup terkadang memaksa anak-anak ini untuk bekerja. Terkadang hanya bekerja di sekitar lingkungan. Namun tidak sedikit juga yang melakukan migrasi untuk mendapatkan uang.
e.      Pernikahan Dini
Pernikahan dini mempunyai dampak yang serius bagi pelakunya, terlebih bagi kaum perempuan. Mereka tidak hanya diintai oleh bahaya kesehatan, namun juga kesempatan menempuh pendidikan yang juga semakin menjadi terbatas bagi mereka. Hal itu berdampak pula pada kesempatan kerja yang terbatas sehingga situasi ekonomi mereka semakin terjepit. Pernikahan dini juga menghambat perkembangan psikologis pelakunya, sehingga hal ini menimbulkan gangguan perkembangan pribadi, dan rusaknya hubungan dengan pasangan. Bahkan tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pula perceraian dini. Pada perempuan, apabila mereka sudah menikah sudah dianggap sebagai wanita dewasa. Apabila sewaktu-waktu mereka bercerai, mereka tetap dianggap sudah dewasa. Mereka inilah yang rentan menjadi korban tindakan perdagangan manusia yang dapat disebabkan karena kerapuhan ekonomi, emosi yang masih labil, dan lain-lain.
f.        Pengetahuan yang Terbatas
Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja, sehingga  mereka lebih mudah ditarik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian, dan lain sebagainya.

2. 2 PROFIL PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK (P2TP2A) JAWA BARAT
A.     Latar Belakang dan Sejarah Singkat P2TP2A Jawa Barat
Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, menyangga persoalan sosial yang tidak sederhana. Penduduk mayoritas atau lebih dari setengahnya adalah perempuan yang memiliki masalah spesifik yang beragam, sesuai dengan kondisi geografis Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota Negara.
Salah satu masalah yang menjadi keprihatinan pemerintah  adalah maraknya kasus kekerasan dan perdagangan manusia atau trafiking (human trafficking) khususnya terhadap perempuan dan anak. Kasus kekerasan dan perdagangan manusia di setiap kota/kabupaten di Jawa Barat adalah merata, hampir di setiap kota/kabupaten ada, yang berbeda adalah pada motif atau faktor pendorong terjadinya kasus kekerasan dan perdagangan manusia tersebut.
Faktor kemiskinan, masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pergeseran nilai moral, masalah sosial budaya, gaya hidup dan makin besarnya jumlah penduduk sehingga mempersempit lapangan pekerjaan, membuat perempuan dan anak rentan terhadap permasalahan trafiking dan kekerasan.
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, pemerintah telah mengeluarkan banyak sekali peraturan perundang-undangan dan program-program pelayanan serta lembaga-lembaga pelayanan bagi perempuan dan anak khususnya. Salah satu lembaga pelayanan yang secara khusus menangani permasalahan-permasalahan perempuan dan anak adalah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) sebagai jawaban yang diharapkan dapat memberi jalan keluar untuk penyelesaian permasalahan-permasalahan perempuan dan anak serta mendorong mereka ke arah pemberdayaan. Pada tahun 2002, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menginstruksikan agar dibentuk P2TP2A di daerah-daerah, baik di tingkat kota/kabupaten ataupun provinsi.
Provinsi Jawa Barat sendiri baru memiliki Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) pada masa kepemimpinan Pak Ahmad Heryawan, yaitu tahun 2010. Jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang telah membentuk P2TP2A sejak diinstruksikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2002, Jawa Barat relatif lamban, padahal Jawa Barat merupakan provinsi dengan penduduk mayoritasnya adalah perempuan dan memiliki permasalahan-permasalahan sosial yang tidak sederhana. Kemudian, ketika Pak Ahmad Heryawan memimpin Jawa Barat, beliau menginstruksikan agar dibentuk lembaga yang menangani permasalahan perempuan dan anak secara khusus. Akhirnya, dikeluarkanlah Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 15 tahun 2010 tentang Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 15 tahun 2010 inilah yang menjadi landasan dibentuknya P2TP2A Provinsi Jawa Barat.
Sejak pertama kali didirikan pada Mei 2010 sampai dengan April 2013, P2TP2A Jawa Barat telah menangani 342 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang terdiri atas 216 kasus trafiking dan 126 kasus kekerasan dalam rumah tangga.

B.     VISI dan MISI
VISI
Optimalisasi kualitas SDM melalui perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dari tindak kekerasan sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia berlandaskan Keimanan dan Ketakwaan.

MISI
1.       Menjadikan P2TP2A sebagai basis pemberdayaan perempuan dan anak secara preventif, kuratif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu.
2.       Membangun kualitas fisik, spiritual, mental dan intelektual yang optimal untuk perempuan dan anak.
3.       Memberikan pelayanan yang meliputi pendampingan psikologis, advokasi serta informasi terhadap perempuan dan anak yang mengalami tindakan kekerasan.
4.       Membangun gerakan bersama untuk mencegah dan menghapus tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
5.       Membangun jejaring dan menggali potensi masyarakat dalam upaya mencegah dan menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

C.      Landasan/Dasar Hukum
Berikut adalah beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan/dasar hukum berdirinya P2TP2A Provinsi Jawa Barat serta menjadi pedoman bagi setiap pelayanan yang diberikan oleh lembaga kepada kliennya (khususnya perempuan dan anak), diantaranya:
1.       Batang Tubuh UUD 1945 pasal 27 ayat 2, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
2.       Batang Tubuh UUD 1945 pasal 28 A – J tentang Hak Asasi Manusia.
3.       Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 15 tahun 2010 tentang Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Barat.
4.       Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
5.       Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
6.       Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
7.       Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
8.       Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
9.       Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
10.   Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
11.   Peratutan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

D.     Asas dan Tujuan
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan asas:
a.       Keimanan dan Kemanusiaan
Sebagaimana nilai-nilai di dalam agama bahwa setiap manusia memiliki hak untuk diperlakukan secara baik dan manusiawi. Oleh karena itu, setiap lembaga pelayanan haruslah mengedepankan hak asasi manusia dan melaksanakan proses pelayanan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan tersebut.
b.       Keadilan Sosial
Keadilan sosial merupakan hak semua orang, termasuk hak perempuan dan anak. Setiap orang berhak memperoleh pendidikan, pekerjaan, penghidupan yang layak, dan perlindungan.
c.       Nondiskriminasi dan Kesetaraan Gender
Tidak ada perbedaan antara satu orang dengan orang lainnya dalam menerima suatu pelayanan yang sifatnya umum seperti pendidikan, kesehatan, penghidupan yang layak, dan perlindungan hukum. Baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak sama-sama berhak mendapatkannya.
d.       Keterpaduan dan Kemitraan
Pelayanan yang ada di P2TP2A Jawa Barat tidaklah insidental melainkan sudah dipadukan mulai dari disiplin ilmunya, lembaga pelaksana pelayanan, program-program, sampai dengan para pelaksananya, sehingga membentuk satu-kesatuan utuh yang sama-sama berusaha mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat, khususnya perempuan dan anak.
e.       Keterbukaan dan Akuntabilitas
Siapa pun boleh mengakses dan mendapat pelayanan dari P2TP2A Jawa Barat. Untuk pendanaan dan program-program pun secara rutin dilaporkan kepada Pemda Provinsi Jawa Barat dan donator.
f.         Profesionalitas
Artinya, semua hal yang ada dalam P2TP2A Jawa Barat dapat dipertanggungjawabkan dan bukan merupakan pelayanan sampingan, melainkan pelayanan yang utama dan terpadu.
g.       Keberlanjutan dan Pemberdayaan
Artinya, pelayanan terus dilakukan walaupun klien sudah merasa cukup dan kembali kepada kehidupannya. Hal ini terlihat dengan masih adanya pemantauan secara berkala dan pemberian keterampilan.

Tujuan dibentuknya P2TP2A yaitu untuk memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan terpadu dalam rangka pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang rentan terhadap tindak kekerasan. (Pasal 4 Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 15 tahun 2010)

E.      Tugas dan Fungsi
Tugas pokok dari P2TP2A Jawa Barat adalah melaksanakan sebagian tugas Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pelayanan secara cepat, tepat dan terpadu dalam upaya pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak dari tindak kekerasan, diskriminasi dan perdagangan orang.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, P2TP2A Jawa Barat, mempunyai fungsi:
a.       pelaksanaan fasilitasi dan penyediaan pelayanan perlindungan perempuan dan anak dari diskriminasi dan tindak kekerasan, termasuk perdagangan orang, yang bersifat darurat secara cepat meliputi berbagai layanan yaitu informasi, rujukan medis, hukum, psikologis, psikis, rumah aman (shelter), kunjungan rumah (home visif) dan pelatihan keterampilan serta bentuk layanan lainnya yang mendukung pelaksanaan kegiatan P2TP2A;
b.       penyelenggaraan koordinasi dan membangun jejaring kerja yang bersinergi dengan Instansi terkait di tingkat Pusat, Organisasi Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta P2TP2A Kabupaten/Kota di Jawa Barat dan/atau lembaga lain yang memiliki tugas dan fungsi di bidang pemberdayaan perempuan serta perlindungan perempuan dan anak;
c.       pelaksanaan fasilitasi dalam rangka mendorong Kabupaten/Kota untuk membentuk dan/atau memperkuat tugas dan fungsi P2TP2A; dan
d.       pemantauan terhadap korban pasca penanganan P2TP2A dan/atau mitra kerja.

F.      Struktur Organisasi
Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 15 tahun 2010 pasal 9 ayat 1, struktur/susunan organisasi P2TP2A Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut:

a.       Pengarah (Advisoty Council Board);
b.       Ketua;
c.       Wakil Ketua;
d.       Bendahara;
e.       Sekretaris; dan
f.        Divisi-divisi, terdiri atas:
1.       Divisi Kerjasama dan Kemitraan;
2.       Divisi Informasi dan Dokumentasi; dan
3.       Divisi Advokasi, Pendampingan dan Pemulihan; serta
4.       Divisi Pemantauan.

Uraian tugas masing-masing personalia P2TP2A sebagaimana dimaksud pada Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 15 tahun 2010 pasal 9 ayat 1 di atas adalah sebagai berikut:
a.       Pengarah, yaitu memberikan arahan-arahan kegiatan P2TP2A sesuai dengan kebijakan pemberdayaan perempuan serta perlindungan perempuan dan anak di Jawa Barat;
b.       Ketua, yaitu:
1.       memimpin, mengkoordinasikan, membina dan mengendalikan serta melaporkan pelaksanaan tugas dan fungsi P2TP2A Jawa Barat kepada Gubernur Jawa Barat melalui Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat; dan
2.       mempertanggungjawabkan dan melaporkan pengelolaan keuangan P2TP2A kepada Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat.
c.       Wakil Ketua, yaitu membantu Ketua dalam memimpin, mengkoordinasikan, membina dan mengendalikan pelaksanaan tugas dan fungsi P2TP2A;
d.       Sekretaris, yaitu melaksanakan kesekretariatan P2TP2A meliputi perencanaan, ketatausahaan, sarana dan prasarana, personalia dan umum;
e.       Bendahara, yaitu melaksanakan pengadministrasian dan pengelolaan keuangan P2TP2A, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f.        Divisi-divisi:
1.       Divisi Kerjasama dan Kemitraan, yaitu melaksanakan koordinasi dan membangun jejaring kerja yang bersinergi melalui kerjasama dan kemitraan antara masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, kelompok profesi, perguruan tinggi, sekolah-sekolah, dan lembaga-lembaga terkait seperti dinas sosial, dinas kesehatan, kejaksaan, dinas tenaga kerja, dan sebagainya;
2.       Divisi Informasi dan Dokumentasi, yaitu melaksanakan penyediaan data, informasi dan dokumentasi tentang P2TP2A, sosialisasi ke 26 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat berkaitan dengan trafiking dan pemberdayaan perempuan dan anak, dan sebagainya;
3.       Divisi Advokasi, Pendampingan dan Pemulihan, yaitu melaksanakan pelayanan dan penanganan dalam upaya pemberdayaan perempuan serta perlindungan perempuan dan anak, mulai dari korban datang sampai dipulangkan serta diberdayakan;
4.       Divisi Pemantauan, yaitu melaksanakan pemantauan secara berkala terhadap korban pasca penanganan P2TP2A.

G.     Dana/Anggaran/Sumber Pembiayaan
Dalam melaksanakan setiap tugas dan fungsinya, pendanaan/pembiayaan pelayanan P2TP2A Jawa Barat adalah dari:
1.       Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat, yang merupakan sumber pendanaan terbesar bagi P2TP2A Jawa Barat.
2.       Dana Kerjasama, baik dari masyarakat maupun dari lembaga terkait seperti dinas sosial. dinas tenaga kerja dan transmigrasi, dinas kesehatan, sekolah dan perguruan tinggi, kepolisian, dan sebagainya.
3.       Dana Sukarela Anggota.

H.    Sarana dan Prasarana
Untuk mendukung pelaksanaan pelayanan, P2TP2A Jawa Barat memiliki sarana dan prasarana pendukung, diantaranya:
1.       Kantor P2TP2A Jawa Barat yang berada di Jalan L.L.R.E. Martadinata No.2 Bandung, beserta peralatan pendukung lainnya seperti telepon, mesin fax, komputer, ruang konseling, ruang anak, dan sebagainya, cukup lengkap.
2.       Rumah Aman yang keberadaannya dirahasiakan sebagai tempat pemberian pelayanan kepada klien/korban.
3.       Hasil MOU dengan masyarakat dan lembaga terkait.

2. 3   MEKANISME PELAYANAN DI P2TP2A JAWA BARAT
Tujuan dari pelayanan yang diberikan oleh P2TP2A Jawa Barat adalah mengacu pada visi dan misi lembaga, diantaranya:
1.       Memberdayakan perempuan dan anak, baik melalui upaya preventif, kuratif, maupun rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu.
2.       Membangun kualitas fisik, spiritual, mental, dan intelektual yang optimal bagi perempuan dan anak.
3.       Memberikan pelayanan yang meliputi pendampingan psikologis, advokasi serta informasi terhadap perempuan dan anak yang mengalami tindakan kekerasan.
4.       Membangun gerakan bersama untuk mencegah dan menghapus tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
5.       Membangun jejaring dan menggali potensi masyarakat dalam upaya mencegah dan menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Batasan pelayanan yang diberikan P2TP2A Jawa Barat adalah pada kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak, khususnya mereka yang menjadi korban tindak kekerasan dan perdagangan manusia/trafiking. Selain itu, P2TP2A Jawa Barat juga melayani siapapun, baik dari masyarakat maupun lembaga, yang memang membutuhkan informasi mengenai P2TP2A Jawa Barat ataupun mengenai masalah kekerasan/trafiking terhadap perempuan dan anak, serta pemberdayaan perempuan dan anak.

Sasaran dari pelayanan P2TP2A Jawa Barat, adalah sebagai berikut:
1.       kelompok perempuan dan anak yang memerlukan peningkatan mutu pendidikan diberbagai bidang;
2.       kelompok perempuan dan anak yang memerlukan peningkatan mutu kesehatan;
3.       kelompok perempuan dan anak yang memerlukan peningkatan mutu ekonomi;
4.       kelompok perempuan dan anak yang memerlukan peningkatan perlindungan terhadap kekerasan dan perdagangan manusia;
5.       warga masyarakat yang memerlukan akses informasi; dan
6.       lembaga terkait yang bisa menjadi rujukan dan membantu proses penanganan serta pemberdayaan terhadap perempuan dan anak.



Berikut adalah program-program/kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan P2TP2A Jawa Barat demi tercapainya tujuan di atas, diantaranya:
1.     Program Penanganan Korban
   Bentuk Kegiatan:
-          Penanganan korban oleh relawan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan jika dibutuhkan penanganan lebih lanjut secara mediko psikososial serta visum et-repertum dilakukan oleh tenaga profesional medis, psikolog, dan sebagainya.
-          Penanganan pasca traumatis secara psikoterapi dan penanganan pasca traumatis secara psikososial oleh tenaga-tenaga ahli seperti psikolog, psikiater dan rohaniwan.
-          Menyediakan Rumah Aman (shelter) bagi Perempuan & Anak-anak yang terancam keselamatan jiwanya dan membutuhkan tempat tinggal alternatif dalam kurun waktu tertentu secara rahasia  (confidential) sementara proses hukumnya tetap berlangsung.
-          Melaksanakan  proses rehabilitasi yang aman, nyaman, dan edukatif.
-          Mengadakan kursus dan pelatihan-pelatihan agar dengan keterampilan yang dimilikinya, perempuan dan anak khususnya, bisa mandiri dan berdaya.

2.     Program Pendampingan Hukum
Bentuk Kegiatan :
-          Menyelenggarakan pembelaan hukum (litigasi) yang berpihak pada korban kekerasan dan trafiking, yaitu perempuan dan anak.
-          Membangun jaringan kerja penanganan kasus dan keberpihakan pada korban tindak kekerasan dan trafiking.
-          Melaksanakan pelayanan Hotline Service 24 Jam yang melibatkan sejumlah relawan dan pengurus. Pelayanan hotline berupa telepon kantor, handphone, dan SMS. Hotline dibuka bagi para korban kekerasan dan trafiking yang hendak berkonsultasi dan menerima konseling atau mengadukan kasus yang dialaminya.
-          Membuka konsultasi melalui media massa (radio dan surat kabar), dan melakukan investigasi kasus (outrearch dan home visit).

3.     Program Penyebarluasan Informasi
Bentuk Kegiatan :
-          Membuat dan menyebarkan Leaflet : pengadaan leaflet dan poster yang akan disebarluaskan melalui kantor-kantor, sekolah-sekolah, desa/kelurahan, dan tempat pelayanan publik, di kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
-          Membuat tayangan (siaran) : melaksanakan tayangan iklan layanan masyarakat, bekerjasama dengan radio dan stasiun televisi dalam periode tertentu.
-          Menerbitkan buku : pengadaan buku saku,  buku panduan, buletin, mengenai cara-cara menghindari kekerasan dan trafiking, panduan mengenai bagaimana dan di mana mengadukan keluhan, telepon hotline, pemahaman hak-hak dan perlindungan hukum, dan informasi-informasi penting lainnya.

4.     Program Diskusi dan Sosialisasi
Bentuk Kegiatan :
-          Melaksanakan serial diskusi, workshop, dan pertemuan-pertemuan dengan lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi yang terkait dengan penanganan kekerasan dan trafiking terhadap perempuan dan anak.
-          Melaksanakan forum tukar informasi (sharing) terkait dengan pembentukan jaringan kerja yang luas, metode penangan korban, metode perlindungan, metode pendampingan, konsultasi dan metode hotline.
-          Melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat melalui organisasi dan kelompok-kelompok masyarakat yang berpengaruh, misalnya PKK, Majelis Taklim, kelompok Karang Taruna, Dasa Wisma dan sekolah-sekolah.

5.     Program Diklat Relawan
Bentuk Kegiatan :
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan para petugas dan relawan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang menjadi ujung tombak kegiatan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.

6.     Program Penguatan Kelembagaan
Bentuk Kegiatan:
-          Mengadakan rapat koordinasi dan evaluasi sebanyak dua kali dalam satu tahun dengan Unit Pelaksana Teknis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPT-P2TP2A) kota/kabupaten di Jawa Barat.
-          Koordinasi berjalan, artinya P2TP2A Provinsi dengan UPT-P2TP2A kota/kabupaten terus berkoordinasi dalam hal pelayanan.
-          Mengadakan supervisi untuk UPT-P2TP2A kota/kabupaten.

2. 4   PENANGANAN KASUS
Dalam mencegah dan menangani suatu kasus, P2TP2A Jawa Barat menggunakan pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
1.     Pekerjaan Sosial
Termasuk di dalamnya adalah asesmen, penanganan yang di arahkan pada pemberdayaan, hak-hak klien dilindungi, proses pelayanan bersama klien, dan sebagainya.



2.     Medis
Pendekatan ini adalah untuk klien yang memang mengalami permasalahan pada aspek medis, seperti korban tindak kekerasan, dan sebagainya, tetapi selanjutnya ditangani sesuai dengan kebutuhan klien.
3.     Psikologi
Pendekatan ini dilakukan untuk klien yang mengalami permasalahan psikologis.
4.     Agama
Melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga keagamaan dan majelis taklim untuk mensosialisasikan permasalahan kekerasan dan trafiking dalam perspektif agama serta menguatkan masyarakat untuk bersama-sama mencegah dan menangani permasalahan ini.
5.     Hukum
Melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga peradilan seperti kepolisian dan kejaksaan untuk menangani kasus kekerasan dan trafiking agar klien terlindungi hak-haknya selama dalam proses maupun pasca penanganan.
6.     Budaya
Melalui sosialisasi kepada masyarakat untuk bersama-sama mencegah dan menangani permasalahan perempuan dan anak.
7.     Ekonomi
Pendekatan ini diarahkan agar perempuan dan anak yang telah menjadi korban dapat mandiri dan berdaya melalui pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh P2TP2A Jawa Barat.

Metode dan teknik yang digunakan oleh P2TP2A Jawa Barat dalam menangani kliennya, didasarkan pada metode pokok pekerjaan sosial adalah menggunakan ketiganya, yaitu:
1.      Metode Pekerjaan Sosial dengan Individu (Social Case Work)
Metode ini digunakan ketika menangani klien secara langsung, yaitu perempuan dan anak yang menjadi korban tindak kekerasan dan perdagangan manusia.

2.      Metode Pekerjaan Sosial dengan Kelompok (Social Group Work)
Metode ini digunakan ketika berhubungan dengan keluarga dan kelompok terkait pencegahan dan penanganan masalah perempuan dan anak. Dibentuk pula recreation skill group, education group, dan self help group yang tujuannya tidak lain adalah untuk memberdayakan mereka. Realisasinya adalah dengan adanya kursus-kursus keterampilan seperti menjahit, merias, memasak, mengoperasikan komputer, dan sebagainya.

3. Metode Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat (Community Organization and Community Development)
Metode ini digunakan dalam hubungannya dengan masyarakat. Klien dalam hal ini adalah perempuan dan anak merupakan bagian dari masyarakat. Terkadang klien terjerumus ke dalam permasalahan kekerasan dan trafiking akibat tuntutan kehidupan di dalam masyarakatnya. Seperti di daerah Indramayu, orang-orang cenderung ingin bekerja di luar negeri karena melihat sebagian kecil tetangganya yang berhasil pulang dengan membawa banyak uang dan membangun rumah yang bagus, tanpa melihat betapa banyak mereka yang sengsara di sana, dan tanpa mempertimbangkan keterampilan yang dimilikinya. Dengan metode ini, diharapkan masyarakat bisa mengembangkan taraf berpikir dan keterampilannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalau bisa diberdayakan didaerahnya, kenapa harus ke luar negeri, kecuali pengetahuan dan keterampilannya mumpuni.
Secara teknis, khususnya penanganan terhadap korban trafiking adalah sebagai berikut:

Berikut adalah penjelasannya:
1.       Korban dalam hal ini adalah keluarga atau masyarakat melapor bahwa ada anggota keluarga atau anggota masyarakatnya yang menjadi korban trafiking. Laporan bisa melalui gugus tugas trafiking atau lembaga masyarakat atau bisa langsung ke P2TP2A Jawa Barat. Gugus tugas trafiking adalah satuan yang dibuat Pemerintah Daerah Jawa Barat untuk menangani kasus trafiking, yang terdiri atas P2TP2A, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Kepolisian Daerah, dan BP3APKKB (Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Kependudukan, dan Keluarga Berencana) sebagai koordinatornya.
2.       Korban diterima oleh P2TP2A Jawa Barat.
3.       P2TP2A Jawa Barat melakukan pendataan dan asesmen. Asesmen dilakukan oleh pekerja sosial ataupun staf ahli lain seperti psikolog agar mendapatkan data yang akurat agar penanganannya pun tepat.
4.       Setelah mendapatkan data yang akurat mengenai permasalahan korban. Korban mendapatkan penanganan, baik penanganan spiritual, hukum, psikis, maupun medis. Keempatnya adalah standar penanganan yang ada di P2TP2A Jawa Barat.
5.       Penanganan dilakukan di Rumah Aman ataupun di lembaga lain seperti rumah sakit, dan sebagainya. Rumah Aman adalah tempat dimana semua proses pelayanan terhadap korban dilakukan dan keberadaannya dirahasiakan.
6.       Korban pun mendapatkan pelatihan-pelatihan seperti pelatihan tataboga, menjahit, merias, dan sebagainya, agar ke depannya bisa mandiri dan berdaya.
7.       Setelah korban benar-benar pulih, korban dikembalikan kepada keluarganya, atau ke daerah asalnya, kemudian dilakukan pemantauan secara berkala oleh para relawan P2TP2A Jawa Barat.
Tenaga professional yang menangani korban dalam P2TP2A Jawa Barat disebut staf ahli, yang terdiri dari dokter, psikolog, pekerja sosial, advokat, kepolisian, dan sebagainya. Sedangkan, tenaga penunjangnya adalah para relawan yang siap selama 24 jam melakukan pelayanan terhadap klien/korban.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

BAB III
KESIMPULAN dan SARAN
3.1     Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang berkaitan dengan perdagangan manusia/trafiking (human trafficking) dan penjelasan dari P2TP2A Jawa Barat dapat disimpulkan bahwa trafiking merupakan kejahatan yang terorganisir mulai dari perekrutannya, penampungan, pengiriman, dan penerimaan di tempat tujuan traffick (pemindahan) dan mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak. Penanganan terhadap kasus trafiking yang dilakukan oleh P2TP2A Jawa Barat merupakan penanganan yang terpadu dari berbagai disiplin ilmu, lapisan masyarakat, dan lembaga terkait dengan tujuan memberdayakan perempuan dan anak.

3.2     Saran
Saran yang dapat kami berikan, diantaranya untuk:
a.       Pemerintah
Pemerintah memberikan dukungan lewat pembuatan kebijakan dan pendanaan terhadap segala bentuk pelayanan dan pencegahan terhadap kasus kekerasan dan trafiking terhadap perempuan dan anak. Peran sentral pemerintah ini dapat berdampak luas terhadap upaya pencegahan dan penanganan masalah trafiking ini sebagai pemangku kebijakan tertinggi.
b.       Kelompok Profesional
Mengupayakan segala bentuk bantuan terhadap proses pencegahan dan penanganan korban trafiking sesuai dengan disiplin ilmu dan keterampilan professional yang dimilikinya. Pekerja sosial melalui metode-metodenya, psikolog melakukan konseling dan mengidentifikasi kejiwaan korban, dokter dengan penanganan medisnya, advokat melakukan upaya hukum demi menegakkan keadilan, dan sebagainya.

c.       Keluarga
Keluarga semaksimal mungkin menjaga anggotanya agar tidak terjerumus ke dalam kasus kekerasan dan trafiking.
d.       Masyarakat
Saling bantu-membantu antar anggota masyarakat, sehingga tidak ada anggota masyarakat yang tertekan dengan kondisi yang dialaminya, kemudian nekat bekerja apapun padahal itu akan menjerumuskannya pada masalah trafiking.
e.       Lembaga Pelayanan
Untuk lembaga pelayanan, lakukan pelayanan semaksimal mungkin dan jangan egois, artinya jalinlah kerjasama demi tercapainya pelayanan yang maksimal bagi klien.


















DAFTAR PUSTAKA








Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 15 tahun 2010 tentang Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Barat.


Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan Dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Dan Potensi Dan Sumber Kesejahteraan Sosial.

Rosenberg, Ruth. Perdagangan Perempuan dan Anak. Jakarta-Indonesia. ICMC:2003.













0 komentar:

Posting Komentar

 

Add My Facebook & Twitter

Pengikut

Wildan Sani Nugroho Copyright © 2009 Community is Designed by Bie