Disusun
sebagai Laporan Kajian Lapangan Kelompok mengenai Perdagangan Manusia (Human
Trafficking) di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A) Provinsi Jawa Barat
Mata
Kuliah Sistem Pelayanan Sosial
Dosen
Pengampu:
Drs. Ramli,
M.Pd
Disusun oleh
Kelompok 3 Kelas 2E:
1. Wildan Sani Nugroho (12.04.149)
2. Ahmad
Ngainur Rofiq (12.04.246)
3. Ida
Purwastuty (12.04.009)
4. Nella Kurnia
Anggrahini (12.04.197)
5. Rahel Rima
Eppang (12.04.102)
SEKOLAH
TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL
BANDUNG
2013
------------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk
terbesar di Indonesia dengan latar belakang penduduk yang beragam serta
memiliki permasalahan sosial yang beragam dan kompleks, tentu menarik untuk
dijadikan fokus kajian oleh siapapun dan lembaga manapun. Kami pun demikian,
kami memfokuskan kajian kami pada kasus perdagangan manusia/trafiking (human trafficking). Berdasarkan data
dari salah satu lembaga pelayanan perempuan dan anak, yaitu Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat, bahwa di setiap
kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat terdapat kasus perdagangan
manusia/trafiking dengan motif yang berbeda-beda. Mayoritas korban perdagangan
manusia adalah perempuan dan anak. Mereka yang seharusnya mendapatkan
perlindungan, justru dijadikan komoditas dagang dan diperlakukan tidak
manusiawi. Mulai dari seorang bayi yang masih belum bisa melakukan apa-apa
sampai dengan orang dewasa pun bisa menjadi korban trafiking. Niat baik mereka
untuk membantu perekonomian keluarga dan meringankan beban keluarga
disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Ditambah lagi
dengan sifat konsumtif masyarakat yang terus meningkat dari waktu ke waktu,
sehingga memudahkan oknum-oknum tersebut untuk membujuk mereka dengan
mengiming-imingi pekerjaan berupah yang tinggi. Pemerintah telah berupaya
maksimal untuk menangani permasalahan trafiking ini, mulai dari pembuatan
kebijakan sampai dengan hal-hal yang sifatnya teknis telah dilakukan. Akan
tetapi, upaya pemerintah saja tidaklah cukup untuk mengatasi dan mencegahnya,
butuh partisipasi semua masyarakat, baik masyarakat di daerah dan dalam negeri
maupun masyarakat luar negeri serta lembaga-lembaga terkait, termasuk kita
sebagai mahasiswa. Partisipasi apapun sangatlah berguna untuk mencegah dan
mengatasi permasalahan trafiking ini.
Makalah ini diharapkan bisa menjadi alat bagi
semua pihak untuk lebih memahami tentang perdagangan manusia/trafiking, lembaga
pelayanan terkait, dan cara mencegah serta mengatasi permasalahan tersebut.
1.2
Rumusan
Masalah
Berikut adalah beberapa rumusan masalah atau
lebih tepatnya hal-hal yang dibahas di dalam makalah ini yang berkaitan dengan
kajian lapangan yang telah kami laksanakan, diantaranya:
1.
Definisi
perdagangan manusia/trafiking (human
trafficking), bagaimana bentuk-bentuk trafiking, siapa saja pelakunya, dan
apa saja faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya trafiking.
2.
Lembaga yang
fokus pelayanannya pada kasus trafiking serta kekerasan pada perempuan dan anak,
yaitu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa
Barat.
3.
Mekanisme
pelayanan di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
Jawa Barat.
4.
Penanganan
kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa
Barat.
1.3
Tujuan
Penulisan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Sebagai
laporan terkait kajian lapangan yang telah kami laksanakan tentang pelayanan
sosial di lembaga pelayanan.
2.
Memberikan
informasi dan pemahaman kepada pembaca tentang perdagangan manusia/trafiking
(human trafficking) secara lebih rinci berdasarkan fakta yang terjadi di dalam
kehidupan masyarakat.
3.
Memberikan
informasi dan pemahaman kepada pembaca tentang mekanisme dan penanganan kasus
perdagangan manusia/trafiking di lembaga pelayanan khususnya di Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
--------------------------------------------------------------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1
KAJIAN TEORI
A. DEFINISI
PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING)
Istilah “Perdagangan
Manusia” disebut juga “Trafiking” atau “Human Trafficking” diambil dari bahasa
Inggris. “Trafficking” dalam bahasa Inggris berarti perpindahan atau migrasi,
sehingga secara bahasa, human trafficking
dapat diartikan sebagai perpindahan atau migrasi manusia. Namun, pengertian human trafficking dalam konteks
perdagangan manusia yang kami bahas di dalam makalah ini, tidak hanya sekadar
perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lain. Akan tetapi, seseorang
atau sekelompok orang yang berpindah atau bermigrasi tersebut adalah korban,
dimana korban dibawa ke luar dari kampung halamannya yang aman ke tempat
berbahaya dan dikerjapaksakan serta dieksploitasi.
Di
masa lalu, human trafficking (perdagangan
manusia) hanya dipandang sebagai pemindahan perempuan secara paksa ke luar
negeri untuk tujuan prostitusi. Sejumlah konvensi terdahulu mengenai
perdagangan manusia pun hanya memfokuskan pada aspek ini.
Seiring
bergulirnya waktu dan bertambah kompleksnya permasalahan tersebut, maka human trafficking (perdagangan manusia) didefinisikan
sebagai perpindahan manusia (khususnya perempuan dan anak), dengan atau tanpa
persetujuan orang yang bersangkutan, di dalam suatu negara atau ke luar negeri,
untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan
perbudakan yang berkedok pernikahan (servile
marriage), sehingga memperluas definisi itu untuk mencakup lebih banyak isu
dan jenis kekerasan.
Perluasan
terhadap definisi perdagangan manusia, mempunyai arti bahwa kini lebih banyak
bentuk eksploitasi yang dialami oleh perempuan dan anak yang digolongkan
sebagai trafiking daripada sebelumnya. Dengan menyoroti perubahan-perubahan
konseptual ini, kita akan mempunyai pengertian yang lebih baik tentang
bagaimana hal ini mempengaruhi pemahaman kita tentang perdagangan manusia di
Indonesia khususnya.
Kerangka
konseptual baru untuk perdagangan manusia ini melambangkan pergeseran dalam
beberapa situasi seperti yang diuraikan di bawah ini. Poin-poin berikut ini
didasari oleh pendapat Wijers dan Lap-Chew (pakar perdagangan internasional)
berkaitan dengan pergeseran kerangka definisi mengenai perdagangan manusia,
diantaranya:
a. Dari
Perekrutan menjadi ‘Eksploitasi’
Kerangka
tersebut berkembang dari mengkonseptualisasi perdagangan sebagai sekadar
perekrutan menjadi juga mencakup kondisi eksploitatif yang dihadapi seseorang
sebagai akibat perekrutannya.
b. Dari
Pemaksaan menjadi ‘Dengan atau Tanpa Persetujuan’
Kerangka
tersebut juga berubah dari mensyaratkan bahwa perdagangan harus melibatkan
unsur penipuan, kekerasan atau pemaksaan, menjadi pengakuan bahwa seorang
perempuan dapat menjadi korban perdagangan bahkan jika ia menyetujui perekrutan
dan pengiriman dirinya ke tempat lain.
c. Dari
Prostitusi menjadi ‘Perburuhan yang Informal dan Tidak Diatur oleh Hukum’
Pada
tahun 1994, PBB mengesahkan suatu resolusi mengenai “Perdagangan Perempuan dan
Anak Perempuan” yang memperluas definisi perdagangan sehingga memasukkan
eksploitasi yang tidak hanya untuk tujuan prostitusi saja tetapi juga untuk
semua jenis kerja paksa. Resolusi ini juga mengakui bahwa perempuan sering kali
secara sadar mengizinkan dirinya dikirim ke luar negeri atau ke daerah lain,
secara sah atau tidak sah, namun mereka tidak mengetahui eksploitasi yang sudah
menunggu mereka. Resolusi ini menyatakan bahwa perdagangan didefinisikan
sebagai “tujuan akhir dari memaksa
perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi yang menekan dan
eksploitatif dari segi ekonomi ataupun seksual”. Meski perdagangan untuk
tujuan eksploitasi seksual memang hanya dikenal di Indonesia, diduga jumlah
perempuan yang diperdagangkan untuk bentuk-bentuk perburuhan lain jauh lebih
banyak. Dari hampir setengah juta warga Indonesia yang bermigrasi secara resmi
untuk bekerja setiap tahunnya, 70% adalah perempuan; dan masih banyak lagi yang
ditengarai bermigrasi melalui jalur-jalur tak resmi. Sebagian besar perempuan
bermigrasi untuk bekerja sebagai pramuwisma; sebagian lainnya untuk bekerja di
rumah makan, pabrik atau perkebunan. Dari hasil penelitian, juga data dari LSM
tentang buruh migran, kami menemukan bahwa banyak di antara perempuan ini yang
menemukan diri mereka sendiri di dalam kondisi eksploitatif, penjeratan utang (debt bondage), penyitaan identitas, dan
pembatasan gerak, yang merupakan unsur-unsur perdagangan.
d. Dari
Kekerasan terhadap Perempuan menjadi ‘Pelanggaran Hak Asasi Manusia’
Perubahan
dalam kerangka konseptual menunjukkan pergeseran dari memandang perdagangan
sebagai suatu isu yang sering dianggap sebagai isu domestik dan berada di luar
yuridiksi negara, menjadi dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap hak
asasi manusia yang mendasar dan karena itu merupakan persoalan yang menjadi
tanggung jawab negara. Perspektif hak perempuan sebagai hak asasi manusia yang
terus berkembang ini terlihat jelas dalam Konferensi Dunia PBB mengenai Hak
Asasi Manusia pada tahun 1993 dan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan.
e. Dari
Perdagangan Perempuan menjadi ‘Migrasi Ilegal’
Pergeseran
paradigma ini terutama menunjukkan perubahan dalam persepsi negara-negara
penerima terhadap perdagangan perempuan sebagai suatu isu migrasi ilegal dan
penyelundupan manusia. Perubahan ini mempunyai konsekuensi yang negatif. Dengan
memusatkan perhatian hanya kepada status migrasi saja, kerangka yang berubah
ini mengabaikan sebagian aspek penting dalam perdagangan perempuan.
Pertama,
ada banyak kasus perdagangan di mana perempuan masuk ke negara tujuan secara
sah. Persepsi ini juga tidak memperhitungkan kemungkinan perdagangan domestik.
Kedua, dan mungkin yang paling penting, kerangka ini menjauhkan perhatian dari
korban. Tindak kejahatan tersebut menjadi salah satu dari migrasi ilegal di
mana korban adalah pelaku dan negara menjadi korban. Seperti halnya di banyak
negara, batas antara migrasi dan perdagangan mudah berubah, dan perempuan kerap
berpindah dari situasi migrasi sukarela untuk pekerjaan yang sah ke kondisi
eksploitatif. Mereka yang terlibat dalam perekrutan dan pengiriman para
perempuan itu, mungkin tidak terlibat dalam tahap akhir eksploitasi. Menurut
beberapa laporan, orang yang direkrut mungkin akan diserahkan kepada perekrut
di negara lain yang kemudian dengan sewenang-wenang menyalurkan sebagian dari
mereka ke rumah bordil dan sebagian lagi ke pekerjaan yang telah dijanjikan sebelumnya
oleh perekrut pertama.
Secara
sederhana, trafiking adalah sebuah bentuk perbudakan modern dan segala transaksi jual beli terhadap
manusia.
Definisi
lain dan yang paling banyak diterima di seluruh dunia adalah definisi dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyatakan bahwa human trafficking (perdagangan manusia) adalah: "Perekrutan, pengangkutan, pengiriman,
penampungan atau penerimaan orang ini, dengan cara ancaman atau penggunaan
kekerasan atau jenis paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, atau
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan
pembayaran atau tunjangan untuk mencapai kesepakatan seseorang memiliki kendali
atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.” (2000, Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafiking
Orang, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai
Kejahatan Transnasional)
Salah
satu masalah dalam mendefinisikan trafiking adalah bahwa terdapat banyak
situasi dimana orang disiksa tetapi, situasi ini tidak langsung diartikan bahwa
mereka adalah korban trafiking. Sebagai contoh, seorang perempuan yang memilih
untuk menjadi pekerja seks komersial karena ia butuh uang, tentu tidak sama
dengan seseorang yang ditipu dan ditarik ke dalam prostitusi dan dipaksa untuk
terus melakukannya meskipun ia tidak mau.
Untuk
membantu mengenali kasus trafiking, ACILS (American
Center for International Labor Solidarity) dan ICMC (International Catholic Migration Commission) telah mengembangkan
dan menguraikan definisi PBB mengenai trafiking. Agar suatu kasus dapat
dikatakan trafiking, kasus tersebut harus meliputi 3 elemen pokok, yaitu:
1.
PROSES seseorang dipindahkan, berupa perekrutan,
pengangkutan, pengiriman, penampungan, dan penerimaan.
2.
CARA seseorang dijebak, bisa berupa ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan,
kebohongan, kecurangan, ataupun penyalahgunaan kekuasaan.
3.
TUJUAN atau niatan perpindahan, bisa untuk prostitusi,
kekerasan/eksploitasi seksual, kerja paksa dengan upah yang tidak layak, perbudakan/praktik-praktik
lain yang serupa dengan perbudakan, penyalahgunaan alat-alat reproduksi,
pengantin pesanan, penjualan obat-obatan terlarang, ataupun pengambilan organ
tubuh.
Berdasarkan
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 tahun 2012, menyatakan
bahwa korban trafficking adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis,
mental, fisik, seksual, ekonomi dan/atau sosial yang diakibatkan tindak pidana
perdagangan orang. Dengan kriteria sebagai berikut:
a.
mengalami
tindak kekerasan;
b.
mengalami
eksploitasi seksual;
c.
mengalami
penelantaran;
d.
mengalami
pengusiran (deportasi); dan
e.
ketidakmampuan
menyesuaikan diri di tempat kerja baru (negara tempat bekerja) sehingga
mengakibatkan fungsi sosialnya terganggu.
B. KOMPONEN
DALAM DEFINISI PBB
Berdasarkan
definisi yang dikeluarkan oleh PBB, setidaknya ada beberapa komponen proses di
dalamnya yang dapat memunculkan dan menghasilkan kasus trafiking, diantaranya:
· Perekrutan : Kebanyakan kasus trafiking
melibatkan perekrutan pekerjaan. Beberapa perekrut bekerja untuk agen perekrut
sementara yang lainnya bekerja sendiri. Mereka mengurus dan memfasilitasi
perjalanan ke kota lain di Indonesia atau ke luar negeri. Beberapa adalah perekrut
resmi dan barangkali tidak tahu bahwa orang yang mereka tempatkan akan menjadi
korban trafiking. Namun, perekrut lainnya secara sadar menipu korban mengenai
jenis dan kondisi kerja.
· Pengangkutan di dalam dan melintasi
perbatasan :
Agar dapat dikatakan trafiking, beberapa bentuk perpindahan fisik, migrasi atau
pengangkutan mesti terjadi. Perpindahan dapat terjadi antar negara atau di
dalam satu negara namun apapun situasinya korban dipindahkan ke tempat yang
asing, jauh dari rumah dan perlindungan keluarga atau kerabat dan/atau di bawah
kendali pelaku trafiking.
· Dipindahkan dengan cara legal atau
illegal :
Trafiking dapat terjadi baik saat seseorang dipindahkan secara legal atau
ilegal. Trafiking dapat terjadi pada buruh migran dengan visa legal, yang masuk
ke suatu negara dengan legal, tapi ditipu dan kondisi kerjanya tidak sesuai.
· Pembelian, penjualan, pengiriman,
penerimaan atau penampungan seseorang : Pelaku trafiking menggunakan satu
atau lebih dari tindakan ini ketika mereka memindahkan korban dari tempat asal
ke tempat tujuan. Proses ini menunjukkan bahwa banyak orang yang terlibat dalam
proses trafiking terhadap seorang korban – sebagai contoh: seorang perekrut
bisa menjual korban, ada perantara yang mengirimkan korban, orang lain sepakat
menampung korban di lokasi transit, sementara orang lain telah membeli korban
untuk dijadikan pembantu atau pelacur.
· Penipuan : Orang-orang yang diperdagangkan
seringkali diberi iming-iming tawaran pendidikan, pernikahan atau pekerjaan
bergaji besar. Yang terjadi justru sebaliknya, mereka dijerumuskan ke dalam
kerja paksa, prostitusi, atau dalam pernikahan yang disalahgunakan. Sebagai
contoh, seorang perempuan tetap dianggap korban trafiking bahkan ketika ia tahu
akan bekerja dalam industri seks, tapi tidak tahu bahwa ia akan kehilangan
kebebasan atau pendapatan. Dalam banyak kasus orang-orang yang diperdagangkan
ditipu mengenai kondisi yang harus mereka jalani dan/atau tentang kondisi
kerja.
·
Paksaan, termasuk ancaman kekerasan
atau penyalahgunaan wewenang : Beberapa pelaku trafiking menggunakan kekuatan untuk menculik
korban dan yang lainnya menggunakan kekerasan atau pemerasan untuk
mengendalikan mereka. Karena orang-orang yang diperdagangkan menjadi tergantung
masalah sandang, pangan dan papan, mereka dipaksa untuk menyerahkan diri pada
tuntutan penculik mereka. Pelaku trafiking dapat membatasi kebebasan korban
atau hanya memperbolehkan mereka keluar dengan pengawal. Paksaan juga bisa
bersifat psikologis. Penyalahgunaan wewenang seringkali berarti seseorang yang memiliki
wewenang atas orang lain (seperti kerabat atau majikan) merampas hak asasi
mereka.
· Jeratan Hutang : Banyak orang-orang yang
direkrut/ditarik akan terperangkap dalam jeratan hutang. Begitu tiba di tempat
tujuan mereka dipaksa bekerja atau melunasi hutang yang dilambungkan akibat
penempatan kerja, tempat tinggal, biaya perjalanan, biaya kesehatan dan
makanan. Pelaku trafiking memiliki kendali penuh atas perpindahan dan pemasukan
korban mereka, karena korban seringkali dikurung dan paspor/izin mereka
ditahan.
· Perbudakan (rumah tangga, seksual, atau
alat reproduksi), dalam kerja paksa atau dalam kondisi mirip perbudakan : Banyak perempuan dan anak-anak
ditarik ke dalam situasi yang berdasarkan definisi hukum tidak termasuk kerja
paksa atau perbudakan. Dalam beberapa kasus mereka ditarik ke dalam perkawinan
paksa atau budak seks tanpa nafkah. Perempuan lainnya dikurung sebagai pembantu
rumah tangga atau ditawan untuk pelayanan seksual atau alat reproduksi.
Elemen
inti dari trafiking adalah kondisi yang eksploitatif dan semena-mena di mana
korban diangkut dan dipindahkan ke tempat asing. Kerja paksa, penghambaan dan
perbudakan adalah kejahatan yang dilarang oleh hukum internasional sebagai
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Orang-orang ditarik ke dalam banyak
situasi, seperti pekerjaan rumah tangga, pekerjaan kasar atau di pabrik. dalam
sektor formal maupun informal, ke dalam perkawinan atau hubungan lainnya.
Kondisi/hubungan yang disertai paksaan dan penipuan dalam situasi di atas juga disebut
“trafiking”.
Trafiking tidak hanya merampas hak asasi tetapi juga, membuat mereka
rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma dan bahkan kematian. Pelaku
trafiking menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan
untuk menjerumuskan korban ke dalam pekerjaan mirip perbudakan atau ke dalam
prostitusi. Korban menghadapi penyiksaan, kekejaman, kerja paksa, pemerasan dan
eksploitasi. Banyak yang hanya menerima sedikit gaji atau tidak sama sekali
sebagai bayaran pekerjaan mereka dan dipaksa terus bekerja untuk jam kerja yang
berlebihan bahkan seringkali tanpa istirahat.
C.
BENTUK-BENTUK
PERDAGANGAN MANUSIA (TRAFIKING) DI INDONESIA
Terdapat banyak sekali tindakan
kekerasan, pemaksaan, penipuan, dan eksploitasi yang dialami oleh manusia,
terutama di Indonesia dan lebih khususnya adalah di Jawa Barat. Perburuhan yang
eksploitatif, perburuhan anak, perbudakan berlatar belakang pernikahan,
kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi seksual, serta masih banyak lagi
bentuk-bentuk kekerasan dan eksploitatif lainnya merupakan bentuk-bentuk
perdagangan manusia yang banyak terjadi di masyarakat. Tetapi, kami hanya
mengambil bentuk-bentuk perdagangan manusia yang paling sering terjadi di
Indonesia. Berikut adalah bentuk-bentuk perdagangan manusia tersebut, diantaranya:
1.
Buruh
Migran
2.
Pembantu
Rumah Tangga
3.
Pekerja
Seks Komersial
4.
Perbudakan
Berkedok Pernikahan dalam Bentuk Pengantin Pesanan
5.
Pekerja
Anak
Rangkuman
singkat di bawah ini menjelaskan bentuk-bentuk perdagangan manusia di atas,
metode perekrutan dan manifestasi eksploitasinya. Berikut adalah penjelasannya:
1. Buruh
Migran
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa banyak orang, termasuk anak di bawah umur,
bermigrasi tanpa sepengetahuan Departemen Tenaga Kerja, melalui jalur yang
informal atau melanggar hukum, sehingga meningkatkan jumlah buruh migran
perempuan dan anak secara signifikan. Perempuan dan anak cenderung bermigrasi
untuk bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan berikut ini:
o
Pembantu
Rumah Tangga
o
Pelayan
Restoran
o
Buruh
Pabrik dan Perkebunan
o
Industri
Hiburan / Pekerja Seks
Buruh
migran dieksploitasi sepanjang proses migrasi, mulai dari perekrutan hingga
proses prakeberangkatan, selama bekerja, dan setelah kembali. Untuk mempercepat
proses dan mengubah informasi penting terutama usia anak, dokumen buruh sering
kali dipalsukan bahkan ketika mereka bermigrasi melalui broker yang terdaftar
secara sah. Hal ini membuat para migran menghadapi risiko dikenai tuduhan
berbagai pelanggaran imigrasi di negara tujuan. Para migran juga berutang dalam
jumlah besar kepada agen, yang biasanya berasal dari pungutan ilegal dan beban
bunga yang tinggi. Gaji mereka dipotong untuk melunasi utang-utang ini, dan
dalam kasus-kasus ekstrem, buruh menemukan dirinya terjebak dalam penjeratan
utang, suatu situasi dimana dirinya tidak akan pernah dapat melarikan diri.
Kondisi
kerja sering kali melanggar undang-undang/peraturan perburuhan setempat, di
mana para buruh migran mempunyai jam kerja yang panjang, tidak diberikan cuti,
dan diberi tempat tinggal dan makan dalam kondisi yang bersanitasi buruk. Buruh
yang mungkin ingin pulang kampung, baik untuk alasan pribadi, karena kondisi
kerjanya, atau karena takut mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, biasanya
akan dipaksa untuk terus bekerja guna memberikan ganti kepada agen bagi biaya
perekrutan dan transportasinya. Bukan suatu hal yang aneh bagi majikan atau
agen untuk menahan paspor dan dokumen-dokumen lain untuk memastikan bahwa buruh
tidak akan mencoba melarikan diri.
Banyak
dari bentuk-bentuk eksploitasi ini mengakibatkan buruh migran yang direkrut
atas kemauannya sendiri menjadi korban perdagangan. Namun, banyak dari
praktik-praktik ini yang sudah begitu lazim di Indonesia sehingga, tidak lagi
dianggap sebagai eksploitatif, apalagi sebagai perdagangan yang melanggar
hukum. Dengan tidak mengakui bentuk-bentuk perdagangan ini, pemerintah
membiarkan eksploitasi buruh migran perempuan dan anak Indonesia terus
berlanjut. Perekrutan gadis di bawah umur tak terhindarkan di negara dengan
jumlah pengangguran dan semipengangguran yang luar biasa besar ini.
2. Pembantu
Rumah Tangga
Permintaan
terbesar bagi buruh migran perempuan Indonesia adalah untuk menjadi pembantu
rumah tangga yang tidak memerlukan banyak keterampilan. Pembantu rumah tangga
kerap menghadapi bahaya besar karena sifat pekerjaan mereka yang bertempat di
rumah pribadi dan tertutup dari sorotan masyarakat umum atau akses untuk
memperoleh bantuan. Sering terdengar laporan mengenai kekerasan seksual yang
dilakukan oleh majikan. Ruang gerak pembantu biasanya dibatasi. Mereka dibatasi
dalam hal ke mana mereka dapat pergi, dan biasanya dikurung di rumah ketika
majikan mereka sedang pergi.
Pembantu
rumah tangga di dalam negeri juga dapat mengalami kekerasan serupa, antara lain
penyekapan ilegal, penjeratan utang dan gaji tidak dibayar, yang membuat
perekrutan mereka untuk bekerja dalam kondisi yang begitu eksploitatif menjadi
kasus perdagangan. Selain itu, beberapa studi melaporkan bahwa lebih dari 25%
pembantu rumah tangga di Indonesia berusia di bawah 15 tahun (usia kerja minimum
di Indonesia menurut hukum), sementara sejumlah studi lain menyatakan bahwa
jumlah pembantu rumah tangga di bawah umur lebih dari 50%. Dalam kasus-kasus
semacam itu, melanggar konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak, yang mencakup hak
untuk memperoleh pendidikan (Pasal 28), hak untuk beristirahat dan menikmati
hiburan (Pasal 31), dan hak untuk memperoleh perlindungan dari eksploitasi
ekonomi, khususnya jika pekerjaan yang dilakukan mengganggu pendidikan atau
perkembangan anak bersangkutan (Pasal 32) dan karena itu merupakan pekerjaan
yang eksploitatif. Sehingga perekrutan dan pengiriman anak untuk bekerja
sebagai pembantu rumah tangga penuh waktu yang tinggal di rumah majikan sama
dengan perdagangan manusia.
3. Pekerja
Seks Komersial
Perekrutan
untuk industri seks internasional tampaknya serupa dengan perekrutan untuk
jenis-jenis buruh migran lainnya, dan bahkan sering kali berkedok perekrutan
untuk dijadikan buruh migran. Bukti anekdotal (bukti yang berasal dari
pengalaman pribadi atau observasi), juga studi mengenai buruh migran,
menunjukkan bahwa banyak perempuan yang semula direkrut untuk dijadikan
pembantu rumah tangga, pegawai restoran atau untuk pekerjaan dalam sektor
hiburan lain kemudian dipaksa untuk bekerja dalam industri seks komersial.
Banyak dari perempuan-perempuan ini yang telah menyerahkan sejumlah uang kepada
perekrut untuk mencarikan mereka pekerjaan di luar negeri, dan tidak menyadari
sifat sebenarnya dari pekerjaan sampai mereka tiba di negara tujuan. Pelaku
perdagangan memalsukan dokumen mereka, sehingga mereka tidak berani mengadu
kepada pihak yang berwenang karena takut akan ditahan atau dideportasi. Mereka kerap
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan agar para perempuan dan gadis
tidak berani melarikan diri. Korban juga dapat disekap secara paksa dan dijaga
ketat, serta dibebani dengan utang yang sebenarnya tidak ada atau yang
jumlahnya lebih besar dari sebenarnya, sehingga penghasilan mereka dari jasa
yang diberikan secara terpaksa pun ditahan.
Sebuah
manifestasi perdagangan yang belakangan ini muncul adalah perekrutan perempuan
muda dari Bali dan Jawa untuk misi kebudayaan atau tari ke Jepang. Para penari
diberitahu bahwa mereka akan membawakan tarian tradisional di sejumlah pusat
hiburan di Jepang. Setibanya di sana, mereka dipekerjakan di karaoke dan klub
yang menyajikan tarian telanjang. Mula-mula mungkin mereka akan bekerja sebagai
pelayan atau teman minum bagi tamu namun pada akhirnya mereka akan disuruh
memberikan layanan seks kepada tamu.
Di
beberapa kabupaten di Indonesia, terutama di Jawa, berlaku subbudaya di mana
keluarga yang mempunyai anak perempuan di bawah umur mengatur agar anak mereka
dapat menetap di kota untuk memasuki industri seks agar ia memperoleh
penghasilan lebih besar dari yang mungkin dapat ia raih. Ini sudah jelas
merupakan kasus perdagangan. Sementara di daerah lain, seperti Sulawesi Utara,
sejumlah perempuan dan gadis muda secara sadar menandatangani kontrak untuk
bekerja sebagai penari, penari telanjang atau bahkan pekerja seks, namun mereka
ditipu mengenai kondisi kerja yang harus mereka hadapi, dibebani oleh utang
yang sebenarnya tidak ada atau jumlahnya lebih besar dari yang sebenarnya,
disekap secara paksa, atau tidak boleh menolak bekerja, sehingga nasib mereka berujung
dalam kondisi eksploitatif yang merupakan perdagangan. Juga ada konsistensi
yang cukup tinggi dari sejumlah laporan yang menyatakan bahwa 30% pekerja seks
di Indonesia berusia di bawah 18 tahun. Anak umur di bawah 18 tahun yang
direkrut dan dikirim ke dalam industri seks merupakan korban perdagangan,
sehingga isu tentang persetujuan atau menjadi pekerja seks secara sukarela
menjadi tidak relevan.
4. Pengantin
Pesanan
Pernikahan
paksa memiliki sejarah panjang di banyak daerah di Indonesia. Ada banyak subbudaya
Indonesia di mana pernikahan biasanya diatur oleh orang tua tanpa banyak
pertimbangan terhadap pilihan anak mereka. Meski kini pelaksanaan praktik ini
tidak sesering dahulu, praktik ini masih tetap hidup dan melanggar hak
seseorang untuk menikah dengan bebas dan atas persetujuan penuh dari dirinya
sendiri (Pasal 16, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Pengantin pesanan
merupakan manifestasi modern dari perjodohan dan dapat menjadi kasus
perdagangan ketika seorang gadis menikah atas tekanan keluarganya (khususnya
bila ia berumur di bawah 18 tahun), dan berakhir dalam kondisi perbudakan atau
eksploitatif.
Fenomena
pengantin pesanan di Indonesia tampaknya terutama terjadi dalam masyarakat
Indonesia keturunan Tionghoa di Provinsi Kalimantan Barat (meski dari Jawa
Timur diberitakan telah terjadi beberapa kasus serupa), dengan para calon suami
berasal dari Taiwan. Meski sebagian perempuan muda yang diperistri melalui
proses ini mempunyai pernikahan yang bahagia, ada sejumlah perempuan lain
melaporkan bahwa mereka bekerja seperti budak di rumah suami dan orang tua
suaminya, dengan jam kerja yang panjang dan tanpa gaji dan mereka tidak
diperlakukan sebagai salah satu anggota keluarga. Dalam beberapa contoh yang
lebih mengenaskan, para perempuan tersebut benar-benar dipaksa oleh suami
mereka untuk memasuki industri seks atau langsung dijual ke sebuah rumah
bordil. Kendati tidak semua kasus pengantin pesanan berakhir menyedihkan atau
melibatkan perdagangan, banyak kasus melibatkan perempuan di bawah umur, dan pemalsuan
dokumen. Kebanyakan pernikahan difasilitasi oleh calo setempat dari Singkawang,
Kalimantan Barat, dengan upacara pernikahan dilakukan di Indonesia. Dalam
beberapa kasus, setibanya di Taiwan, kewarganegaraan pengantin langsung diubah yang
terkadang tanpa sepengetahuannya sehingga jika ia ingin kembali ke Indonesia
karena terlibat dalam kesulitan di sana, ia akan dihadang cukup banyak
kesulitan.
5. Bentuk-bentuk
Lain Perburuhan Anak
Ada
beberapa bentuk perburuhan anak di Indonesia yang dapat digolongkan sebagai
tindak perdagangan. Yang amat menonjol adalah kasus-kasus mengenai anak lelaki
yang bekerja di jermal di lepas pantai Sumatra Utara. Sejumlah anak laki-laki
yang masih belia direkrut dari desa dengan janji akan mendapat gaji besar jika
bersedia dikontrak untuk bekerja selama tiga bulan di jermal. Namun mereka
tidak diberi penjelasan mengenai kondisi kerja, dan mereka harus hidup di
tempat yang jorok, serta mengalami kekerasan fisik dan seksual dari orang
dewasa yang ada di jermal itu dan jam kerja yang panjang. Mereka tidak pergi
bersekolah dan tidak dapat meninggalkan jermal setelah sampai di situ. Pihak
LSM juga melaporkan sejumlah kasus anak yang diperdagangkan untuk dipekerjakan
secara paksa sebagai pengemis atau untuk menjual narkotika dan obat-obatan
terlarang (narkoba). Bentuk-bentuk lain perburuhan anak, seperti untuk
dijadikan pembantu rumah tangga dan untuk tujuan eksploitasi seks komersial
akan dibahas di bagian lain, namun dipandang perlu untuk disampaikan di sini
sebagai bentuk perburuhan anak yang sama relevan dan buruknya untuk digolongkan
ke dalam paradigma perdagangan.
6. Penjualan
Bayi
Keberadaan
tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negri, seperti TKI yang ditipu
dengan perkawinan palsu lalu dipaksa untuk menyerahkan anaknya atau diadopsi
secara ilegal, ataupun pada akhirnya bayi tersebut dijual di pasar gelap.
7. Perdagangan
organ tubuh manusia
Demi
mendapatkan uang dan dapat menafkahi keluarganya, terkadang manusia dapat
melakukan hal-hal yang tidak dapat diterima. Salah satunya adalah penjualan
organ tubuh manusia, salah satunya adalah penjualan ginjal yang ilegal. Demi
mendapatkan uang yang banyak dalam waktu yang cepat maka mereka rela menjual
sebagian tubuhnya asalkan dapat bertahan hidup. Selain itu bagian tubuh manusia
lainnya juga diperjualbelikan, biasanya manusia yang telah meninggal, ataupun
manusia yang berada di dalam perbudakan yang tidak dapat menolak ataupun
membela diri.
D.
PELAKU
PERDAGANGAN MANUSIA (TRAFIKING)
Di bawah ini adalah uraian singkat
berbagai kategori oknum dan organisasi yang terlibat dalam perdagangan perempuan
dan anak di Indonesia.
1. Agen
Perekrut Tenaga Kerja
Agen perekrut tenaga kerja atau
perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) membayar agen/calo
(perseorangan) untuk mencari buruh di desa-desa, mengelola penampungan,
memperoleh identifikasi dan dokumen perjalanan, memberikan pelatihan dan
pemeriksaan medis serta menempatkan buruh dalam pekerjaannya di negara tujuan.
Baik PJTKI yang terdaftar maupun tidak terdaftar melakukan praktik yang ilegal
dan eksploitatif, seperti memfasilitasi pemalsuan paspor dan KTP serta secara
ilegal menyekap buruh di penampungan. Mereka menjadi pelaku perdagangan ketika
mereka memaksa seorang perempuan untuk terus bekerja bahkan ketika ia hendak pulang
ke tempat asalnya, ketika mereka menempatkan seorang buruh dalam pekerjaan yang
berbeda dari yang sudah dijanjikan sebelumnya dan ketika mereka mengirim
seorang perempuan, dengan atau tanpa sepengetahuan mereka, untuk secara paksa
bekerja dalam industri seks.
2. Agen
Agen/calo mungkin saja adalah orang
asing yang datang ke suatu desa, atau tetangga, teman, atau bahkan kepala desa.
Agen dapat bekerja secara bersamaan untuk PJTKI yang terdaftar dan tidak
terdaftar, memperoleh bayaran untuk setiap buruh yang direkrutnya. Mereka
sering terlibat dalam praktik ilegal seperti pemalsuan dokumen. Seorang agen
mungkin dengan sadar terlibat dalam perdagangan perempuan ketika ia membohongi
orang yang direkrutnya mengenai kebenaran dari pekerjaan yang akan dilakukan atau
gaji yang akan diterimanya. Sebagian agen secara sadar merekrut perempuan untuk
industri seks. Di sisi lain, banyak yang mungkin membantu perdagangan perempuan
untuk industri seks tanpa menyadarinya. Agen mungkin tidak mengetahui yang
sebenarnya dari suatu pekerjaan ketika mereka melakukan perekrutan untuk
pekerjaan itu.
3.
Pemerintah
Pejabat pemerintah juga memainkan
peranan dalam eksploitasi dan perdagangan migran. Keterlibatan mereka antara
lain adalah memalsukan dokumen, mengabaikan pelanggaran dalam perekrutan dan
ketenagakerjaan, atau memfasilitasi penyeberangan perbatasan secara ilegal.
Mereka mungkin menyadari atau tidak menyadari bahwa perempuan yang perekrutan
dan pengirimannya mereka fasilitasi adalah korban perdagangan.
4. Majikan
Majikan, apakah mereka terlibat atau
tidak dalam perekrutan, terlibat dalam perdagangan jika mereka memaksa buruh
yang direkrut untuk bekerja dalam kondisi eksploitatif. Seorang majikan
terlibat dalam perdagangan jika ia tidak membayarkan gaji, secara ilegal
menyekap buruh di tempat kerja, melakukan kekerasan seksual dan fisik terhadap
buruh, memaksa buruh untuk terus bekerja di luar keinginan mereka, atau menahan
mereka dalam penjeratan utang.
5. Pemilik
dan Pengelola Rumah Bordil
Sama dengan majikan di atas, pemilik
dan pengelola rumah bordil terlibat dalam perdagangan bila mereka memaksa
seorang perempuan untuk bekerja di luar kemauannya, menahannya dalam penjeratan
utang, menyekapnya secara ilegal, membatasi kebebasannya bergerak, tidak
membayar gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan anak di bawah 18 tahun.
6. Calo
Pernikahan
Seorang calo pernikahan yang terlibat
dalam sistem pengantin pesanan terlibat dalam perdagangan ketika ia mengatur
pernikahan yang mengakibatkan pihak istri terjerumus dalam kondisi serupa
perbudakan dan eksploitatif. Calo pernikahan mungkin menyadari atau tidak
menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.
7. Orang
Tua dan Sanak Saudara
Orang tua dan sanak saudara lain
menjadi pelaku perdagangan ketika mereka secara sadar menjual anak atau saudara
mereka kepada seorang majikan apakah ke dalam industri seks atau sektor lain.
Orang tua juga memperdagangkan anak mereka ketika mereka menerima pembayaran di
muka untuk penghasilan yang akan diterima anak mereka di masa depan, atau
menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utang yang telah mereka buat,
sehingga memaksa anak mereka masuk ke dalam penjeratan utang.
8.
Suami
Suami yang menikahi dan kemudian
mengirim istrinya ke sebuah tempat baru dengan tujuan untuk mengeksploitasinya
demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya
melakukan prostitusi, terlibat dalam perdagangan.
E. FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB TERJADINYA PERDAGANGAN MANUSIA (TRAFIKING)
Faktor penyebab atau pendorong terjadinya
praktik perdagangan manusia sangatlah beragam, mulai dari hal-hal yang bisa
dikatakan sepele sampai kepada hal-hal yang kompleks. Berikut adalah beberapa faktor
penyebab terjadinya perdagangan manusia (trafiking), diantaranya:
a. Kurangnya
Kesadaran Masyarakat Terhadap Bahaya Trafiking
Kesadaran ini tidak hanya didapatkan
dari mereka yang telah menjadi korban perdagangan manusia, kesadaran mengenai
trafiking seharusnya juga didapatkan dari mereka yang menjalankan atau terlibat
langsung dalam kegiatan perdagangan manusia. Kurangnya perhatian mengenai
trafiking dapat disebabkan karena kurangnya kewaspadaan dan kurangnya
informasi. Selain itu, pengetahuan yang terbatas mengenai motif-motif dari
perdagangan manusia juga menjadi salah satu penyebab kurangnya perhatian
mengenai trafiking.
b.
Faktor Ekonomi dan Kemiskinan
Permasalahan ini sering sekali menjadi
pemicu utama terjadinya kasus perdagangan manusia. Tanggung jawab yang besar
untuk menopang hidup keluarga, keperluan yang tidak sedikit sehingga
membutuhkan uang yang tidak sedikit pula, terlilit hutang yang sangat besar,
dan motif-motif lainnya yang dapat memicu terjadinya tindakan perdagangan
manusia. Tidak hanya itu, hasrat ingin cepat kaya juga mendorong seseorang
untuk melakukan tindakan tersebut.
c.
Kebudayaan Masyarakat Setempat
Memang tidak secara gamblang terlihat
bukti mengenai tindakan perdagangan manusia. Namun pada kebudayaan masyarakat
tertentu, terdapat suatu kebiasaan yang menjurus pada tindakan perdagangan
manusia. Sebagai contoh, dalam hierarki kehidupan pada hampir semua kebudayaan,
memang sudah kodrat perempuan untuk tidak mengejar karir. Mereka “ditakdirkan”
untuk mengurus rumah tangga, mengurus anak, serta bersolek. Kalau memang
diperlukan perempuan bertugas untuk mencari nafkah tambahan bagi keluarganya.
Sedangkan laki-laki dalam hierarki kehidupan pada mayoritas kebudayaan,
berfungsi sebagai pencari nafkah, dan juga pemimpin setidaknya bagi keluarganya
sendiri. Namun, pada kenyataannya, tidak semua keluarga tercukupi kebutuhannya
hanya dari pendapatan utama, yaitu pendapatan laki-laki. Tidak semua dapat
sejahtera hanya dengan satu sumber penghasilan. Biasanya, hal inilah yang
mendorong kaum perempuan untuk tetap melangsungkan kehidupan keluarga mereka
sehingga mereka melakukan migrasi dengan menjadi tenaga kerja.
d. Peran Anak
dalam Keluarga
Seorang anak mempunyai peran dalam
sebuah keluarga. Kepatuhan terhadap orangtua, rasa tanggung jawab terhadap masa
depan orangtua mereka, atau situasi ekonomi keluarga yang jauh dari cukup
terkadang memaksa anak-anak ini untuk bekerja. Terkadang hanya bekerja di
sekitar lingkungan. Namun tidak sedikit juga yang melakukan migrasi untuk
mendapatkan uang.
e.
Pernikahan Dini
Pernikahan dini mempunyai dampak yang
serius bagi pelakunya, terlebih bagi kaum perempuan. Mereka tidak hanya diintai
oleh bahaya kesehatan, namun juga kesempatan menempuh pendidikan yang juga
semakin menjadi terbatas bagi mereka. Hal itu berdampak pula pada kesempatan
kerja yang terbatas sehingga situasi ekonomi mereka semakin terjepit.
Pernikahan dini juga menghambat perkembangan psikologis pelakunya, sehingga hal
ini menimbulkan gangguan perkembangan pribadi, dan rusaknya hubungan dengan
pasangan. Bahkan tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pula perceraian dini.
Pada perempuan, apabila mereka sudah menikah sudah dianggap sebagai wanita
dewasa. Apabila sewaktu-waktu mereka bercerai, mereka tetap dianggap sudah
dewasa. Mereka inilah yang rentan menjadi korban tindakan perdagangan manusia
yang dapat disebabkan karena kerapuhan ekonomi, emosi yang masih labil, dan lain-lain.
f.
Pengetahuan yang Terbatas
Orang dengan
pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan
kerja, sehingga mereka lebih mudah
ditarik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan
keahlian, dan lain sebagainya.
2. 2 PROFIL PUSAT
PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK (P2TP2A) JAWA BARAT
A.
Latar Belakang dan Sejarah Singkat P2TP2A
Jawa Barat
Jawa Barat
sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, menyangga
persoalan sosial yang tidak sederhana. Penduduk mayoritas atau lebih dari
setengahnya adalah perempuan yang memiliki masalah spesifik yang beragam,
sesuai dengan kondisi geografis Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Ibu
Kota Negara.
Salah satu
masalah yang menjadi keprihatinan pemerintah adalah maraknya kasus
kekerasan dan perdagangan manusia atau trafiking (human trafficking) khususnya terhadap perempuan dan anak. Kasus
kekerasan dan perdagangan manusia di setiap kota/kabupaten di Jawa Barat adalah
merata, hampir di setiap kota/kabupaten ada, yang berbeda adalah pada motif
atau faktor pendorong terjadinya kasus kekerasan dan perdagangan manusia
tersebut.
Faktor
kemiskinan, masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pergeseran nilai moral,
masalah sosial budaya, gaya hidup dan makin besarnya jumlah penduduk sehingga
mempersempit lapangan pekerjaan, membuat perempuan dan anak rentan terhadap
permasalahan trafiking dan kekerasan.
Berdasarkan
permasalahan yang telah dikemukakan di atas, pemerintah telah mengeluarkan
banyak sekali peraturan perundang-undangan dan program-program pelayanan serta
lembaga-lembaga pelayanan bagi perempuan dan anak khususnya. Salah satu lembaga
pelayanan yang secara khusus menangani permasalahan-permasalahan perempuan dan
anak adalah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
sebagai jawaban yang diharapkan dapat memberi jalan keluar untuk penyelesaian
permasalahan-permasalahan perempuan dan anak serta mendorong mereka ke arah
pemberdayaan. Pada tahun 2002, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak menginstruksikan agar dibentuk P2TP2A di daerah-daerah, baik
di tingkat kota/kabupaten ataupun provinsi.
Provinsi
Jawa Barat sendiri baru memiliki Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
dan Anak (P2TP2A) pada masa kepemimpinan Pak Ahmad Heryawan, yaitu tahun 2010.
Jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang telah membentuk P2TP2A sejak
diinstruksikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
pada 2002, Jawa Barat relatif lamban, padahal Jawa Barat merupakan provinsi
dengan penduduk mayoritasnya adalah perempuan dan memiliki
permasalahan-permasalahan sosial yang tidak sederhana. Kemudian, ketika Pak
Ahmad Heryawan memimpin Jawa Barat, beliau menginstruksikan agar dibentuk
lembaga yang menangani permasalahan perempuan dan anak secara khusus. Akhirnya,
dikeluarkanlah Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 15 tahun 2010 tentang Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat.
Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 15 tahun 2010 inilah yang menjadi landasan
dibentuknya P2TP2A Provinsi Jawa Barat.
Sejak
pertama kali didirikan pada Mei 2010 sampai dengan April 2013, P2TP2A Jawa
Barat telah menangani 342 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang
terdiri atas 216 kasus trafiking dan 126 kasus kekerasan dalam rumah tangga.
B.
VISI dan MISI
VISI
Optimalisasi kualitas SDM melalui
perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dari tindak
kekerasan sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia berlandaskan Keimanan
dan Ketakwaan.
MISI
1.
Menjadikan
P2TP2A sebagai basis pemberdayaan perempuan dan anak secara preventif, kuratif
dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu.
2.
Membangun
kualitas fisik, spiritual, mental dan intelektual yang optimal untuk perempuan
dan anak.
3.
Memberikan
pelayanan yang meliputi pendampingan psikologis, advokasi serta informasi
terhadap perempuan dan anak yang mengalami tindakan kekerasan.
4.
Membangun
gerakan bersama untuk mencegah dan menghapus tindakan kekerasan terhadap
perempuan dan anak.
5.
Membangun
jejaring dan menggali potensi masyarakat dalam upaya mencegah dan menghapus
kekerasan terhadap perempuan dan anak.
C.
Landasan/Dasar
Hukum
Berikut adalah beberapa peraturan
perundang-undangan yang menjadi landasan/dasar hukum berdirinya P2TP2A Provinsi
Jawa Barat serta menjadi pedoman bagi setiap pelayanan yang diberikan oleh
lembaga kepada kliennya (khususnya perempuan dan anak), diantaranya:
1.
Batang Tubuh
UUD 1945 pasal 27 ayat 2, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
2.
Batang Tubuh
UUD 1945 pasal 28 A – J tentang Hak Asasi Manusia.
3.
Peraturan
Gubernur Jawa Barat Nomor 15 tahun 2010 tentang Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Barat.
4.
Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
5.
Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
6.
Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
7.
Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
8.
Undang-Undang
Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri.
9.
Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
10.
Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
11.
Peratutan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
Nomor 01 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bagi Perempuan dan
Anak Korban Kekerasan.
D.
Asas dan
Tujuan
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
berdasarkan asas:
a. Keimanan dan
Kemanusiaan
Sebagaimana nilai-nilai di dalam agama bahwa
setiap manusia memiliki hak untuk diperlakukan secara baik dan manusiawi. Oleh
karena itu, setiap lembaga pelayanan haruslah mengedepankan hak asasi manusia
dan melaksanakan proses pelayanan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan tersebut.
b. Keadilan
Sosial
Keadilan sosial merupakan hak semua orang,
termasuk hak perempuan dan anak. Setiap orang berhak memperoleh pendidikan,
pekerjaan, penghidupan yang layak, dan perlindungan.
c. Nondiskriminasi
dan Kesetaraan Gender
Tidak ada perbedaan antara satu orang dengan
orang lainnya dalam menerima suatu pelayanan yang sifatnya umum seperti
pendidikan, kesehatan, penghidupan yang layak, dan perlindungan hukum. Baik
laki-laki, perempuan, maupun anak-anak sama-sama berhak mendapatkannya.
d. Keterpaduan
dan Kemitraan
Pelayanan yang ada di P2TP2A Jawa Barat
tidaklah insidental melainkan sudah dipadukan mulai dari disiplin ilmunya,
lembaga pelaksana pelayanan, program-program, sampai dengan para pelaksananya,
sehingga membentuk satu-kesatuan utuh yang sama-sama berusaha mewujudkan
kesejahteraan bagi masyarakat, khususnya perempuan dan anak.
e. Keterbukaan
dan Akuntabilitas
Siapa pun boleh mengakses dan mendapat
pelayanan dari P2TP2A Jawa Barat. Untuk pendanaan dan program-program pun
secara rutin dilaporkan kepada Pemda Provinsi Jawa Barat dan donator.
f.
Profesionalitas
Artinya, semua hal yang ada dalam P2TP2A Jawa
Barat dapat dipertanggungjawabkan dan bukan merupakan pelayanan sampingan,
melainkan pelayanan yang utama dan terpadu.
g. Keberlanjutan
dan Pemberdayaan
Artinya, pelayanan terus dilakukan walaupun
klien sudah merasa cukup dan kembali kepada kehidupannya. Hal ini terlihat
dengan masih adanya pemantauan secara berkala dan pemberian keterampilan.
Tujuan
dibentuknya P2TP2A yaitu untuk memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan
terpadu dalam rangka pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang rentan
terhadap tindak kekerasan. (Pasal 4
Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 15 tahun 2010)
E.
Tugas dan
Fungsi
Tugas pokok dari P2TP2A Jawa Barat adalah melaksanakan
sebagian tugas Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pelayanan secara cepat,
tepat dan terpadu dalam upaya pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak
dari tindak kekerasan, diskriminasi dan perdagangan orang.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
di atas, P2TP2A Jawa Barat, mempunyai fungsi:
a.
pelaksanaan
fasilitasi dan penyediaan pelayanan perlindungan perempuan dan anak dari
diskriminasi dan tindak kekerasan, termasuk perdagangan orang, yang bersifat
darurat secara cepat meliputi berbagai layanan yaitu informasi, rujukan medis,
hukum, psikologis, psikis, rumah aman (shelter), kunjungan rumah (home
visif) dan pelatihan keterampilan serta bentuk layanan lainnya yang
mendukung pelaksanaan kegiatan P2TP2A;
b.
penyelenggaraan
koordinasi dan membangun jejaring kerja yang bersinergi dengan Instansi terkait
di tingkat Pusat, Organisasi Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota,
serta P2TP2A Kabupaten/Kota di Jawa Barat dan/atau lembaga lain yang memiliki
tugas dan fungsi di bidang pemberdayaan perempuan serta perlindungan perempuan
dan anak;
c.
pelaksanaan
fasilitasi dalam rangka mendorong Kabupaten/Kota untuk membentuk dan/atau
memperkuat tugas dan fungsi P2TP2A; dan
d.
pemantauan
terhadap korban pasca penanganan P2TP2A dan/atau mitra kerja.
F.
Struktur
Organisasi
Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat
Nomor 15 tahun 2010 pasal 9 ayat 1, struktur/susunan organisasi P2TP2A Provinsi
Jawa Barat adalah sebagai berikut:
a.
Pengarah (Advisoty
Council Board);
b.
Ketua;
c.
Wakil Ketua;
d.
Bendahara;
e.
Sekretaris;
dan
f.
Divisi-divisi,
terdiri atas:
1.
Divisi
Kerjasama dan Kemitraan;
2.
Divisi
Informasi dan Dokumentasi; dan
3.
Divisi
Advokasi, Pendampingan dan Pemulihan; serta
4.
Divisi
Pemantauan.
Uraian tugas
masing-masing personalia P2TP2A sebagaimana dimaksud pada Peraturan Gubernur
Jawa Barat Nomor 15 tahun 2010 pasal 9 ayat 1 di atas adalah sebagai berikut:
a.
Pengarah,
yaitu memberikan arahan-arahan kegiatan P2TP2A sesuai dengan kebijakan
pemberdayaan perempuan serta perlindungan perempuan dan anak di Jawa Barat;
b.
Ketua,
yaitu:
1.
memimpin,
mengkoordinasikan, membina dan mengendalikan serta melaporkan pelaksanaan tugas
dan fungsi P2TP2A Jawa Barat kepada Gubernur Jawa Barat melalui Sekretaris
Daerah Provinsi Jawa Barat; dan
2.
mempertanggungjawabkan
dan melaporkan pengelolaan keuangan P2TP2A kepada Sekretaris Daerah Provinsi
Jawa Barat.
c.
Wakil Ketua,
yaitu membantu Ketua dalam memimpin, mengkoordinasikan, membina dan
mengendalikan pelaksanaan tugas dan fungsi P2TP2A;
d.
Sekretaris,
yaitu melaksanakan kesekretariatan P2TP2A meliputi perencanaan, ketatausahaan,
sarana dan prasarana, personalia dan umum;
e.
Bendahara,
yaitu melaksanakan pengadministrasian dan pengelolaan keuangan P2TP2A, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f.
Divisi-divisi:
1.
Divisi Kerjasama dan Kemitraan, yaitu melaksanakan koordinasi dan membangun
jejaring kerja yang bersinergi melalui kerjasama dan kemitraan antara
masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, kelompok profesi,
perguruan tinggi, sekolah-sekolah, dan lembaga-lembaga terkait seperti dinas
sosial, dinas kesehatan, kejaksaan, dinas tenaga kerja, dan sebagainya;
2.
Divisi Informasi dan Dokumentasi, yaitu melaksanakan penyediaan data,
informasi dan dokumentasi tentang P2TP2A, sosialisasi ke 26 kota/kabupaten di
Provinsi Jawa Barat berkaitan dengan trafiking dan pemberdayaan perempuan dan
anak, dan sebagainya;
3.
Divisi Advokasi, Pendampingan dan Pemulihan, yaitu melaksanakan pelayanan dan penanganan
dalam upaya pemberdayaan perempuan serta perlindungan perempuan dan anak, mulai
dari korban datang sampai dipulangkan serta diberdayakan;
4.
Divisi Pemantauan, yaitu melaksanakan pemantauan secara
berkala terhadap korban pasca penanganan P2TP2A.
G.
Dana/Anggaran/Sumber
Pembiayaan
Dalam melaksanakan setiap tugas dan
fungsinya, pendanaan/pembiayaan pelayanan P2TP2A Jawa Barat adalah dari:
1.
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat, yang merupakan sumber
pendanaan terbesar bagi P2TP2A Jawa Barat.
2.
Dana
Kerjasama, baik dari masyarakat maupun dari lembaga terkait seperti dinas sosial.
dinas tenaga kerja dan transmigrasi, dinas kesehatan, sekolah dan perguruan
tinggi, kepolisian, dan sebagainya.
3.
Dana
Sukarela Anggota.
H. Sarana dan
Prasarana
Untuk mendukung pelaksanaan pelayanan, P2TP2A
Jawa Barat memiliki sarana dan prasarana pendukung, diantaranya:
1.
Kantor
P2TP2A Jawa Barat yang berada di Jalan L.L.R.E. Martadinata No.2 Bandung,
beserta peralatan pendukung lainnya seperti telepon, mesin fax, komputer, ruang
konseling, ruang anak, dan sebagainya, cukup lengkap.
2.
Rumah Aman
yang keberadaannya dirahasiakan sebagai tempat pemberian pelayanan kepada
klien/korban.
3.
Hasil MOU
dengan masyarakat dan lembaga terkait.
2. 3
MEKANISME
PELAYANAN DI P2TP2A JAWA BARAT
Tujuan dari pelayanan yang diberikan oleh
P2TP2A Jawa Barat adalah mengacu pada visi dan misi lembaga, diantaranya:
1. Memberdayakan
perempuan dan anak, baik melalui upaya preventif, kuratif, maupun rehabilitatif
secara menyeluruh dan terpadu.
2. Membangun
kualitas fisik, spiritual, mental, dan intelektual yang optimal bagi perempuan
dan anak.
3. Memberikan
pelayanan yang meliputi pendampingan psikologis, advokasi serta informasi
terhadap perempuan dan anak yang mengalami tindakan kekerasan.
4. Membangun
gerakan bersama untuk mencegah dan menghapus tindakan kekerasan terhadap
perempuan dan anak.
5. Membangun
jejaring dan menggali potensi masyarakat dalam upaya mencegah dan menghapus
kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Batasan pelayanan yang diberikan P2TP2A Jawa Barat
adalah pada kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak, khususnya mereka yang
menjadi korban tindak kekerasan dan perdagangan manusia/trafiking. Selain itu,
P2TP2A Jawa Barat juga melayani siapapun, baik dari masyarakat maupun lembaga,
yang memang membutuhkan informasi mengenai P2TP2A Jawa Barat ataupun mengenai
masalah kekerasan/trafiking terhadap perempuan dan anak, serta pemberdayaan
perempuan dan anak.
Sasaran dari pelayanan P2TP2A Jawa Barat, adalah
sebagai berikut:
1.
kelompok perempuan dan
anak yang memerlukan peningkatan mutu pendidikan diberbagai bidang;
2.
kelompok perempuan dan
anak yang memerlukan peningkatan mutu kesehatan;
3.
kelompok perempuan dan anak yang
memerlukan peningkatan mutu ekonomi;
4.
kelompok perempuan dan
anak yang memerlukan peningkatan perlindungan terhadap kekerasan dan perdagangan manusia;
5.
warga masyarakat yang
memerlukan akses informasi; dan
6.
lembaga
terkait yang bisa menjadi rujukan dan membantu proses penanganan serta
pemberdayaan terhadap perempuan dan anak.
Berikut adalah
program-program/kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan P2TP2A Jawa Barat demi
tercapainya tujuan di atas, diantaranya:
1.
Program Penanganan Korban
Bentuk Kegiatan:
-
Penanganan korban oleh relawan
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan jika
dibutuhkan penanganan lebih lanjut secara mediko
psikososial serta visum et-repertum
dilakukan oleh tenaga profesional medis, psikolog, dan sebagainya.
-
Penanganan pasca traumatis
secara psikoterapi dan penanganan pasca traumatis secara psikososial oleh
tenaga-tenaga ahli seperti psikolog, psikiater dan rohaniwan.
-
Menyediakan Rumah Aman
(shelter) bagi Perempuan & Anak-anak yang terancam keselamatan jiwanya dan
membutuhkan tempat tinggal alternatif dalam kurun waktu tertentu secara rahasia (confidential) sementara proses
hukumnya tetap berlangsung.
-
Melaksanakan proses rehabilitasi yang aman, nyaman, dan edukatif.
-
Mengadakan kursus dan
pelatihan-pelatihan agar dengan keterampilan yang dimilikinya, perempuan dan
anak khususnya, bisa mandiri dan berdaya.
2.
Program Pendampingan Hukum
Bentuk
Kegiatan :
-
Menyelenggarakan pembelaan
hukum (litigasi) yang berpihak
pada korban kekerasan dan trafiking, yaitu perempuan dan anak.
-
Membangun jaringan kerja
penanganan kasus dan keberpihakan pada korban tindak kekerasan dan trafiking.
-
Melaksanakan pelayanan Hotline
Service 24 Jam yang melibatkan sejumlah relawan dan pengurus. Pelayanan hotline
berupa telepon kantor, handphone, dan SMS. Hotline dibuka
bagi para korban kekerasan dan trafiking yang hendak berkonsultasi dan menerima
konseling atau mengadukan kasus yang dialaminya.
-
Membuka konsultasi melalui
media massa (radio dan surat kabar), dan melakukan investigasi kasus (outrearch dan home visit).
3.
Program Penyebarluasan Informasi
Bentuk
Kegiatan :
-
Membuat dan menyebarkan
Leaflet : pengadaan leaflet dan poster yang akan
disebarluaskan melalui kantor-kantor, sekolah-sekolah, desa/kelurahan, dan
tempat pelayanan publik, di kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
-
Membuat tayangan (siaran) : melaksanakan tayangan iklan layanan masyarakat, bekerjasama
dengan radio dan stasiun televisi dalam periode tertentu.
-
Menerbitkan buku : pengadaan
buku saku, buku
panduan, buletin, mengenai cara-cara menghindari kekerasan dan trafiking,
panduan mengenai bagaimana dan di mana mengadukan keluhan, telepon hotline,
pemahaman hak-hak dan perlindungan hukum, dan informasi-informasi penting
lainnya.
4.
Program Diskusi dan Sosialisasi
Bentuk Kegiatan :
-
Melaksanakan serial diskusi,
workshop, dan pertemuan-pertemuan dengan lembaga-lembaga dan
organisasi-organisasi yang terkait dengan penanganan kekerasan dan trafiking terhadap
perempuan dan anak.
-
Melaksanakan forum tukar
informasi (sharing) terkait dengan
pembentukan jaringan kerja yang luas, metode penangan korban, metode
perlindungan, metode pendampingan, konsultasi dan metode hotline.
-
Melaksanakan penyuluhan kepada
masyarakat melalui organisasi dan kelompok-kelompok masyarakat yang
berpengaruh, misalnya PKK, Majelis Taklim, kelompok Karang Taruna, Dasa Wisma
dan sekolah-sekolah.
5.
Program Diklat Relawan
Bentuk
Kegiatan :
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan para petugas dan relawan Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang menjadi ujung
tombak kegiatan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.
6.
Program Penguatan Kelembagaan
Bentuk Kegiatan:
-
Mengadakan rapat koordinasi
dan evaluasi sebanyak dua kali dalam satu tahun dengan Unit Pelaksana Teknis
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPT-P2TP2A)
kota/kabupaten di Jawa Barat.
-
Koordinasi berjalan, artinya
P2TP2A Provinsi dengan UPT-P2TP2A kota/kabupaten terus berkoordinasi dalam hal
pelayanan.
-
Mengadakan supervisi untuk
UPT-P2TP2A kota/kabupaten.
2. 4
PENANGANAN
KASUS
Dalam mencegah dan menangani suatu kasus,
P2TP2A Jawa Barat menggunakan pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
1.
Pekerjaan Sosial
Termasuk di dalamnya adalah asesmen,
penanganan yang di arahkan pada pemberdayaan, hak-hak klien dilindungi, proses
pelayanan bersama klien, dan sebagainya.
2.
Medis
Pendekatan ini adalah untuk klien yang
memang mengalami permasalahan pada aspek medis, seperti korban tindak
kekerasan, dan sebagainya, tetapi selanjutnya ditangani sesuai dengan kebutuhan
klien.
3.
Psikologi
Pendekatan ini dilakukan untuk klien
yang mengalami permasalahan psikologis.
4.
Agama
Melalui kerjasama dengan
lembaga-lembaga keagamaan dan majelis taklim untuk mensosialisasikan
permasalahan kekerasan dan trafiking dalam perspektif agama serta menguatkan
masyarakat untuk bersama-sama mencegah dan menangani permasalahan ini.
5.
Hukum
Melalui kerjasama dengan
lembaga-lembaga peradilan seperti kepolisian dan kejaksaan untuk menangani
kasus kekerasan dan trafiking agar klien terlindungi hak-haknya selama dalam
proses maupun pasca penanganan.
6.
Budaya
Melalui sosialisasi kepada masyarakat
untuk bersama-sama mencegah dan menangani permasalahan perempuan dan anak.
7.
Ekonomi
Pendekatan ini diarahkan agar perempuan
dan anak yang telah menjadi korban dapat mandiri dan berdaya melalui
pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh P2TP2A Jawa Barat.
Metode dan teknik yang digunakan oleh P2TP2A
Jawa Barat dalam menangani kliennya, didasarkan pada metode pokok pekerjaan
sosial adalah menggunakan ketiganya, yaitu:
1. Metode
Pekerjaan Sosial dengan Individu (Social Case Work)
Metode
ini digunakan ketika menangani klien secara langsung, yaitu perempuan dan anak
yang menjadi korban tindak kekerasan dan perdagangan manusia.
2. Metode
Pekerjaan Sosial dengan Kelompok (Social Group Work)
Metode
ini digunakan ketika berhubungan dengan keluarga dan kelompok terkait
pencegahan dan penanganan masalah perempuan dan anak. Dibentuk pula recreation
skill group, education group, dan self help group yang tujuannya tidak lain
adalah untuk memberdayakan mereka. Realisasinya adalah dengan adanya
kursus-kursus keterampilan seperti menjahit, merias, memasak, mengoperasikan
komputer, dan sebagainya.
3. Metode
Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat (Community Organization and
Community Development)
Metode
ini digunakan dalam hubungannya dengan masyarakat. Klien dalam hal ini adalah
perempuan dan anak merupakan bagian dari masyarakat. Terkadang klien terjerumus
ke dalam permasalahan kekerasan dan trafiking akibat tuntutan kehidupan di
dalam masyarakatnya. Seperti di daerah Indramayu, orang-orang cenderung ingin
bekerja di luar negeri karena melihat sebagian kecil tetangganya yang berhasil
pulang dengan membawa banyak uang dan membangun rumah yang bagus, tanpa melihat
betapa banyak mereka yang sengsara di sana, dan tanpa mempertimbangkan
keterampilan yang dimilikinya. Dengan metode ini, diharapkan masyarakat bisa
mengembangkan taraf berpikir dan keterampilannya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kalau bisa diberdayakan didaerahnya, kenapa harus ke luar negeri,
kecuali pengetahuan dan keterampilannya mumpuni.
Secara teknis, khususnya penanganan terhadap
korban trafiking adalah sebagai berikut:
Berikut adalah penjelasannya:
1.
Korban dalam
hal ini adalah keluarga atau masyarakat melapor bahwa ada anggota keluarga atau
anggota masyarakatnya yang menjadi korban trafiking. Laporan bisa melalui gugus
tugas trafiking atau lembaga masyarakat atau bisa langsung ke P2TP2A Jawa
Barat. Gugus tugas trafiking adalah satuan yang dibuat Pemerintah Daerah Jawa
Barat untuk menangani kasus trafiking, yang terdiri atas P2TP2A, Dinas Sosial,
Dinas Kesehatan, Kepolisian Daerah, dan BP3APKKB (Badan Pemberdayaan Perempuan,
Perlindungan Anak, Pengendalian Kependudukan, dan Keluarga Berencana) sebagai
koordinatornya.
2.
Korban
diterima oleh P2TP2A Jawa Barat.
3.
P2TP2A Jawa
Barat melakukan pendataan dan asesmen. Asesmen dilakukan oleh pekerja sosial
ataupun staf ahli lain seperti psikolog agar mendapatkan data yang akurat agar
penanganannya pun tepat.
4.
Setelah
mendapatkan data yang akurat mengenai permasalahan korban. Korban mendapatkan
penanganan, baik penanganan spiritual, hukum, psikis, maupun medis. Keempatnya
adalah standar penanganan yang ada di P2TP2A Jawa Barat.
5.
Penanganan
dilakukan di Rumah Aman ataupun di lembaga lain seperti rumah sakit, dan
sebagainya. Rumah Aman adalah tempat dimana semua proses pelayanan terhadap
korban dilakukan dan keberadaannya dirahasiakan.
6.
Korban pun
mendapatkan pelatihan-pelatihan seperti pelatihan tataboga, menjahit, merias,
dan sebagainya, agar ke depannya bisa mandiri dan berdaya.
7.
Setelah
korban benar-benar pulih, korban dikembalikan kepada keluarganya, atau ke
daerah asalnya, kemudian dilakukan pemantauan secara berkala oleh para relawan
P2TP2A Jawa Barat.
Tenaga
professional yang menangani korban dalam P2TP2A Jawa Barat disebut staf ahli,
yang terdiri dari dokter, psikolog, pekerja sosial, advokat, kepolisian, dan
sebagainya. Sedangkan, tenaga penunjangnya adalah para relawan yang siap selama
24 jam melakukan pelayanan terhadap klien/korban.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB III
KESIMPULAN dan SARAN
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian yang berkaitan dengan perdagangan manusia/trafiking (human trafficking) dan penjelasan dari P2TP2A Jawa Barat dapat
disimpulkan bahwa trafiking merupakan kejahatan yang terorganisir mulai dari
perekrutannya, penampungan, pengiriman, dan penerimaan di tempat tujuan traffick (pemindahan) dan mayoritas
korbannya adalah perempuan dan anak. Penanganan terhadap kasus trafiking yang
dilakukan oleh P2TP2A Jawa Barat merupakan penanganan yang terpadu dari
berbagai disiplin ilmu, lapisan masyarakat, dan lembaga terkait dengan tujuan
memberdayakan perempuan dan anak.
3.2
Saran
Saran yang dapat kami berikan, diantaranya
untuk:
a.
Pemerintah
Pemerintah
memberikan dukungan lewat pembuatan kebijakan dan pendanaan terhadap segala
bentuk pelayanan dan pencegahan terhadap kasus kekerasan dan trafiking terhadap
perempuan dan anak. Peran sentral pemerintah ini dapat berdampak luas terhadap
upaya pencegahan dan penanganan masalah trafiking ini sebagai pemangku
kebijakan tertinggi.
b.
Kelompok
Profesional
Mengupayakan
segala bentuk bantuan terhadap proses pencegahan dan penanganan korban
trafiking sesuai dengan disiplin ilmu dan keterampilan professional yang
dimilikinya. Pekerja sosial melalui metode-metodenya, psikolog melakukan
konseling dan mengidentifikasi kejiwaan korban, dokter dengan penanganan
medisnya, advokat melakukan upaya hukum demi menegakkan keadilan, dan
sebagainya.
c.
Keluarga
Keluarga
semaksimal mungkin menjaga anggotanya agar tidak terjerumus ke dalam kasus
kekerasan dan trafiking.
d.
Masyarakat
Saling
bantu-membantu antar anggota masyarakat, sehingga tidak ada anggota masyarakat
yang tertekan dengan kondisi yang dialaminya, kemudian nekat bekerja apapun
padahal itu akan menjerumuskannya pada masalah trafiking.
e.
Lembaga
Pelayanan
Untuk
lembaga pelayanan, lakukan pelayanan semaksimal mungkin dan jangan egois,
artinya jalinlah kerjasama demi tercapainya pelayanan yang maksimal bagi klien.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 15 tahun
2010 tentang Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Barat.
Peraturan Menteri
Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan Dan Pengelolaan Data
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Dan Potensi Dan Sumber Kesejahteraan Sosial.
Rosenberg, Ruth. Perdagangan Perempuan dan Anak.
Jakarta-Indonesia. ICMC:2003.
0 komentar:
Posting Komentar